Mohon tunggu...
Nie
Nie Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Penulis

Hai! Ini Nie yang senang menulis fiksi dan terkadang mengetik artikel. Menggemari genre romansa, psikologi dan slice of life.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mukbang

11 Juli 2024   06:07 Diperbarui: 11 Juli 2024   06:52 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanpa terasa langkahku mendekat pada wanita itu. Wajahnya baru terlihat jelas setelah menyingkirkan anak rambutnya. Sewaktu itu pula sebuah palu memukul dadaku. 

Rupanya, sentuhan ringanku saat menyingkirkan anak rambutnya membuatnya tersadar. Tubuhnya menyentak sesaat setelah matanya mendelik. Lalu teriakan tak jelas keluar dari mulutnya. 

"Aku sudah melihat percakapan kalian di aplikasiku."

Kini, mataku mendelik pula. ? ? 

Pria itu kini melepaskan maskernya. Terlihat rahangnya begitu tajam, seakan pernah melihatnya. Ia tersenyum---tidak, menyeringai lebih tepatnya. Seketika membuatku kembali berdebar keras. 

"Bukankah dia yang telah berkata kalau videonya tak akan laku bila berkolaborasi denganmu?" Wanita itu menggeleng-geleng seraya menjerit. Perkataannya membuat ingatanku melayang pada percakapan itu. Sudah cukup lama, tetapi membuat bekas kenangan di sekolah yang begitu buruk seumur hidupku. 

Ya, wanita itu pernah bersekolah denganku. Yang dilakukannya hanya memberikanku susu basi, tetapi susu itu lantas muncrat dari mulutku dan mengenai jaket baru si anak konglomerat di kelas. Karena itu, ada bekas luka seumur hidup di mataku akibat tonjokannya. Serta aku harus berlutut di hadapannya. 

"Kau harus melakukan sesuatu, 'kan?" Pria itu menyodorkan sebuah piring dengan roti yang telah dikerubungi lalat. 

"Kau harus membuat senyumnya itu menjadi lebih menjijikan." 

Sejak berbagai ingatan melintasi kepalaku, dadaku terasa panas. Kobaran api hingga ubun-ubun membuat tanganku mengepal. Dengan perlahan, aku pun menerima piring itu. 

Aku menatapnya dalam, lalu membuka lakban hitam itu dengan keras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun