Tanpa terasa langkahku mendekat pada wanita itu. Wajahnya baru terlihat jelas setelah menyingkirkan anak rambutnya. Sewaktu itu pula sebuah palu memukul dadaku.Â
Rupanya, sentuhan ringanku saat menyingkirkan anak rambutnya membuatnya tersadar. Tubuhnya menyentak sesaat setelah matanya mendelik. Lalu teriakan tak jelas keluar dari mulutnya.Â
"Aku sudah melihat percakapan kalian di aplikasiku."
Kini, mataku mendelik pula. ? ?Â
Pria itu kini melepaskan maskernya. Terlihat rahangnya begitu tajam, seakan pernah melihatnya. Ia tersenyum---tidak, menyeringai lebih tepatnya. Seketika membuatku kembali berdebar keras.Â
"Bukankah dia yang telah berkata kalau videonya tak akan laku bila berkolaborasi denganmu?" Wanita itu menggeleng-geleng seraya menjerit. Perkataannya membuat ingatanku melayang pada percakapan itu. Sudah cukup lama, tetapi membuat bekas kenangan di sekolah yang begitu buruk seumur hidupku.Â
Ya, wanita itu pernah bersekolah denganku. Yang dilakukannya hanya memberikanku susu basi, tetapi susu itu lantas muncrat dari mulutku dan mengenai jaket baru si anak konglomerat di kelas. Karena itu, ada bekas luka seumur hidup di mataku akibat tonjokannya. Serta aku harus berlutut di hadapannya.Â
"Kau harus melakukan sesuatu, 'kan?" Pria itu menyodorkan sebuah piring dengan roti yang telah dikerubungi lalat.Â
"Kau harus membuat senyumnya itu menjadi lebih menjijikan."Â
Sejak berbagai ingatan melintasi kepalaku, dadaku terasa panas. Kobaran api hingga ubun-ubun membuat tanganku mengepal. Dengan perlahan, aku pun menerima piring itu.Â
Aku menatapnya dalam, lalu membuka lakban hitam itu dengan keras.Â