Mohon tunggu...
Nidha Ul Khasanah
Nidha Ul Khasanah Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa sosial humaniora yang berusaha untuk humanis

Pendatang baru di Kompasiana, yang tidak tahu menahu harus menulis apa

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Ketika Malas sebagai Bentuk "Tobat Sambal"

13 Februari 2021   01:45 Diperbarui: 14 Februari 2021   05:16 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bermalas-malasan di rumah. (sumber: pixabay.com/tookapic)

Ketika mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) berarti saya memutuskan untuk mengikuti beberapa mata kuliah pada semester tersebut. Mata kuliah ini membawa saya pada keharusan mengikuti kegiatan belajar mengajar yang kini berjalan secara daring. 

Rutinitas mengikuti kelas saat ini dimulai dengan masuk ke room aplikasi daring yang sudah disediakan, menyalakan kamera, mendengarkan paparan materi oleh dosen, dan merespon dosen. 

Misalnya merespon dengan kalimat “untuk saat ini tidak ada, pak/bu” ketika dosen menanyakan “ada yang ditanyakan?”, atau bisa juga respon “terima kasih pak/bu”, ketika dosen menutup sesi perkuliahan. Sungguh respon tersebut merupakan template yang sangat hits bagi saya dan banyak mahasiswa lainnya. 

Tapi memutuskan mengambil beberapa mata kuliah berarti juga harus berhadapan dengan segambreng tugasnya. 

Kuliah yang kini diadakan secara daring tersebut biasanya sebelum room kuliah daring ditutup, dosen akan memberikan tugas ini dan itu yang harus dikumpulkan dalam jangka waktu tertentu. Seperti efek domino, bukan hanya satu dosen saja yang memberi tugas, tapi menular juga pada dosen-dosen lainnya.

Seharusnya tugas-tugas tersebut harus mulai dikerjakan sedini mungkin. Sedikit demi sedikit lama-lama selesai juga kan?. Tapi sayangnya di dunia yang katanya fana ini ada virus bernama malas

Lebih sayangnya lagi, virus ini sangat sering hinggap di tubuh saya. Walhasil berbagai agenda untuk mengerjakan tugas terbengkalai. To do list yang sudah disusun hanya menjadi wacana belaka. 

Kemudian disusul rasa menyesal karena sudah malas berkepanjangan. Jika harus menjawab suatu pertanyaan mengenai hal yang saya benci, maka kemalasan akan menjadi salah satu jawaban kuat yang saya berikan. 

Rasanya si malas ini lama-lama sungguh menggilas diriku sendiri. Menggerogoti asa yang yang padahal sulit juga ditumbuhkan. Saya teringat salah satu istilah yang sering digunakan Ibu saya terutama ketika saya masih kecil. 

Saat saya masih seorang bocah yang menghabiskan waktunya untuk bermain, lantas baru kembali ke rumah saat petang datang, sedang matahari sudah hampir tenggelam. 

Seperti sang jagal, ibu sudah siap-siap depan pintu rumah kami sambil menatapku tajam. Semakin mendekati rumah saya biasanya berhenti lebih dulu, mengatur detak jantung supaya lebih santai, walaupun tetap saja takut bukan kepalang. 

Dengan berbekal pandangan ke bawah, tampang penuh sesal bak pelaku dosa besar, dan tangan yang saling bertaut sedang getar tidak kunjung bisa dihalau. 

Ibu akan memarahiku terlebih dahulu sedang aku sibuk menunduk penuh sesal. Tidak lama kemudian sesi ceramah berhenti, dan aku disuruh mandi. Tapi sayang sungguh sayang, sepertinya nyaliku cukup besar. 

Karena beberapa hari kemudian, dosa yang sama kembali dilakukan. Ibu sudah siap sedia seperti biasa. Dalam ceramahnya yang cukup kencang itu akan ada kalimat “iku jenenge tobat sambel, wes diseneni nganti ngakune getun, sesuke tetep dilakoni meneh” (itu namanya tobat sambal, sudah dimarahi sampai mengakunya menyesal, besoknya teteap dilakukan). Saya sampai hapal perihal istilah tobat sambal yang sering ibu gaungkan. 

Sedang sekarang, saya merasa menjadi si manusia tobat sambal di berbagai situasi karena rasa malas yang tak kunjung hilang. Hari ini menyesal karena masih terkukung rasa malas, tapi sesal ternyata tidak bertahan lama. 

Beberapa saat kemudian saya kembali malas, kemudian disusul rasa sesal akibat agenda yang terbengkalai. Ternyata di usia yang semakin menua saya tetap saja melakukan ritual tobat sambal yang kerap ibu gaungkan. 

Kali ini tobat sambalnya bukan perihal pulang bermain yang kelewat petang, tapi rasa malas yang datang, kemudian menyesal, lantas malas kembali.

Manusia memang bukan robot, yang dapat diatur sedemikian rupa dalam bekerja tanpa mempedulikan kondisi fisik dan psikisnya Malas menjadi kondisi yang manusiawi. 

Ia hadir beriringan dengan produktivitas manusia. Karena toh manusia butuh istirahat dari segala rutinitasnya. Tapi malas memang harus punya batas. Rasanya terlalu disesalkan jika agenda berantakan hanya karena malas. Malas sesekali hadir dibolehkan, tapi jangan keterusan. 

Anggapan ini terus saya tanamkan, sebagai kendali untuk mengatur munculnya kemalasan itu sendiri. Seperti dalam masakan, sambal misalnya, garam itu perlu, namun komposisi utamanya sudah pasti bukan garam. Jadi jangan kebanyakan, nanti malah menghasilkan rasa yang berantakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun