Ketika mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) berarti saya memutuskan untuk mengikuti beberapa mata kuliah pada semester tersebut. Mata kuliah ini membawa saya pada keharusan mengikuti kegiatan belajar mengajar yang kini berjalan secara daring.
Rutinitas mengikuti kelas saat ini dimulai dengan masuk ke room aplikasi daring yang sudah disediakan, menyalakan kamera, mendengarkan paparan materi oleh dosen, dan merespon dosen.
Misalnya merespon dengan kalimat “untuk saat ini tidak ada, pak/bu” ketika dosen menanyakan “ada yang ditanyakan?”, atau bisa juga respon “terima kasih pak/bu”, ketika dosen menutup sesi perkuliahan. Sungguh respon tersebut merupakan template yang sangat hits bagi saya dan banyak mahasiswa lainnya.
Tapi memutuskan mengambil beberapa mata kuliah berarti juga harus berhadapan dengan segambreng tugasnya.
Kuliah yang kini diadakan secara daring tersebut biasanya sebelum room kuliah daring ditutup, dosen akan memberikan tugas ini dan itu yang harus dikumpulkan dalam jangka waktu tertentu. Seperti efek domino, bukan hanya satu dosen saja yang memberi tugas, tapi menular juga pada dosen-dosen lainnya.
Seharusnya tugas-tugas tersebut harus mulai dikerjakan sedini mungkin. Sedikit demi sedikit lama-lama selesai juga kan?. Tapi sayangnya di dunia yang katanya fana ini ada virus bernama malas.
Lebih sayangnya lagi, virus ini sangat sering hinggap di tubuh saya. Walhasil berbagai agenda untuk mengerjakan tugas terbengkalai. To do list yang sudah disusun hanya menjadi wacana belaka.
Kemudian disusul rasa menyesal karena sudah malas berkepanjangan. Jika harus menjawab suatu pertanyaan mengenai hal yang saya benci, maka kemalasan akan menjadi salah satu jawaban kuat yang saya berikan.
Rasanya si malas ini lama-lama sungguh menggilas diriku sendiri. Menggerogoti asa yang yang padahal sulit juga ditumbuhkan. Saya teringat salah satu istilah yang sering digunakan Ibu saya terutama ketika saya masih kecil.
Saat saya masih seorang bocah yang menghabiskan waktunya untuk bermain, lantas baru kembali ke rumah saat petang datang, sedang matahari sudah hampir tenggelam.
Seperti sang jagal, ibu sudah siap-siap depan pintu rumah kami sambil menatapku tajam. Semakin mendekati rumah saya biasanya berhenti lebih dulu, mengatur detak jantung supaya lebih santai, walaupun tetap saja takut bukan kepalang.