Mohon tunggu...
Nidha Ul Khasanah
Nidha Ul Khasanah Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa sosial humaniora yang berusaha untuk humanis

Pendatang baru di Kompasiana, yang tidak tahu menahu harus menulis apa

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Ketika Malas sebagai Bentuk "Tobat Sambal"

13 Februari 2021   01:45 Diperbarui: 14 Februari 2021   05:16 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bermalas-malasan di rumah. (sumber: pixabay.com/tookapic)

Dengan berbekal pandangan ke bawah, tampang penuh sesal bak pelaku dosa besar, dan tangan yang saling bertaut sedang getar tidak kunjung bisa dihalau. 

Ibu akan memarahiku terlebih dahulu sedang aku sibuk menunduk penuh sesal. Tidak lama kemudian sesi ceramah berhenti, dan aku disuruh mandi. Tapi sayang sungguh sayang, sepertinya nyaliku cukup besar. 

Karena beberapa hari kemudian, dosa yang sama kembali dilakukan. Ibu sudah siap sedia seperti biasa. Dalam ceramahnya yang cukup kencang itu akan ada kalimat “iku jenenge tobat sambel, wes diseneni nganti ngakune getun, sesuke tetep dilakoni meneh” (itu namanya tobat sambal, sudah dimarahi sampai mengakunya menyesal, besoknya teteap dilakukan). Saya sampai hapal perihal istilah tobat sambal yang sering ibu gaungkan. 

Sedang sekarang, saya merasa menjadi si manusia tobat sambal di berbagai situasi karena rasa malas yang tak kunjung hilang. Hari ini menyesal karena masih terkukung rasa malas, tapi sesal ternyata tidak bertahan lama. 

Beberapa saat kemudian saya kembali malas, kemudian disusul rasa sesal akibat agenda yang terbengkalai. Ternyata di usia yang semakin menua saya tetap saja melakukan ritual tobat sambal yang kerap ibu gaungkan. 

Kali ini tobat sambalnya bukan perihal pulang bermain yang kelewat petang, tapi rasa malas yang datang, kemudian menyesal, lantas malas kembali.

Manusia memang bukan robot, yang dapat diatur sedemikian rupa dalam bekerja tanpa mempedulikan kondisi fisik dan psikisnya Malas menjadi kondisi yang manusiawi. 

Ia hadir beriringan dengan produktivitas manusia. Karena toh manusia butuh istirahat dari segala rutinitasnya. Tapi malas memang harus punya batas. Rasanya terlalu disesalkan jika agenda berantakan hanya karena malas. Malas sesekali hadir dibolehkan, tapi jangan keterusan. 

Anggapan ini terus saya tanamkan, sebagai kendali untuk mengatur munculnya kemalasan itu sendiri. Seperti dalam masakan, sambal misalnya, garam itu perlu, namun komposisi utamanya sudah pasti bukan garam. Jadi jangan kebanyakan, nanti malah menghasilkan rasa yang berantakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun