***
Waktu shalat tarawih pun tiba. Kami pun bergegas beranjak pergi meninggalkan rumah menuju masjid yang dekat dengan rumah nenek. Ibuku tentu terus siaga menuntunku dengan sabar sampai ketika wudhu pun ibu membantu membasuhkan jika aku keliru dalam mengerjakannya. Akhirnya masuklah ke masjid dan ibuku mengatur posisi tempat shalatku dengan menggelarkan sejadahku dan memakaikan mukena untukku.
Aku yakin sekali banyak yang memerhatikanku. Buktinya ketika kami datang, suara berisik anak-anak dan ibu-ibu yang mengobrol serempak hening seketika. Mungkin mereka heran melihat seorang gadis remaja yang buta dan berkacamata hitam masuk ke dalam masjid untuk ikut shalat tarawih. Perasaanku campur aduk kala itu, antara sedih, geram, dan mencoba tidak peduli. Tapi aku lebih memikirkan perasaan ibuku ketika dia sendiri yang melihat langsung perilaku masyarakat disekitarnya ketika menuntunku sampai ke sini, mungkin sama sepertiku. Tapi karena ibuku pandai mengelola perasaannya, jadi aku yakin ibuku sangat bijaksana dalam menyikapi perilaku semua orang.
Adzan dan komat pun telah berkumandang. Kuresapi setiap kalimatnya yang terasa menenangkan, namun nyatanya lebih menenangkan mendengar lantunan tilawah qur'an yang sangat merdu dari mulut ibuku sendiri. Imam pun telah menginstruksikan semua jama'ah untuk menonaktifkan telepon seluler dan mengkondisikan anak-anak supaya tidak berisik karena dapat mengganggu ke-khusyuk-an dalam melaksanakan shalat tarawih. Kemudian sang imam pun mengucapkan takbir dan shalat isya pun dimulai. Aku pun mengangkat kedua tanganku dengan perlahan. Kucoba resapi suara imamnya hingga attahiyat akhir dan salam. Setelah itu dilanjut dengan ceramah oleh khatib yang sekaligus merangkap sebagai imam shalat.
Sang Imam berceramah dengan bahasa yang mudah dimengerti. Kemudian aku tersentak dengan ucapan sang imam, "... Bahwa sesungguhnya dunia ini adalah fana, tak abadi. Segalanya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat nanti. Seluruh tubuh kita akan ditanya tentang apa yang sudah dilakukannya selama di dunia. Namun beruntunglah bagi ia yang memiliki keterbatasan fisik atau berkebutuhan khusus. Karena hisab (perhitungan) amal perbuatannya akan lebih sedikit dibandingkan ia yang memiliki kesempurnaan fisik yang maksimal..."
Seketika aku langsung tersadar, barangkali Tuhan ingin agar amal perbuatanku yang dihisab nanti, terutama dari indera penglihatanku, tidak begitu banyak dihisabnya. Terhitung sejak aku lahir sampai kecelakaan maut itu saja amal perbuatan melalui mataku dihisab. Bayangkan jika dibandingkan dengan manusia lainnya yang masih diberi kenikmatan melihat sampai akhir hayat, tentu aku paling sedikit. Kemudian tentang dunia ini adalah fana, aku pun kembali tersadar bahwa selama aku hidup di dunia, aku hanya meraba sesuatu yang fana. Jadi, untuk apa aku menyesali jika yang aku raba selama ini tak abadi?
Akhirnya aku terima takdirku ini. Sabar dan syukur adalah kunci.
Tuhan.. Terima kasih banyak! Aku berjanji tidak akan mengeluh lagi.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H