Mohon tunggu...
Nidamia
Nidamia Mohon Tunggu... Freelancer - verba volant, scripta manent

seorang sarjana psikologi yang meminati konsentrasi psikologi sosial. tentangku bisa dilihat di about.me/nida.damia :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meraba Fana

31 Maret 2019   12:55 Diperbarui: 31 Maret 2019   18:56 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.shutterstock.com/

Waktu malam pun tiba. Suara shalawat dari masjid dekat rumah nenek terdengar cukup keras dan begitu merdu. Nenek bilang itu adalah salah satu tradisi di desa ini ketika menyambut malam pertama bulan Ramadhan. Selama ini aku tidak begitu peduli dengan suara shalawat dari masjid di dekat rumahku, namun kali ini sangat berbeda rasanya. Telingaku seakan langsung terpusat pada suara itu dan perlahan air mataku jatuh. Entah sensasi rasa apa ini, aku bingung. Baru kali ini aku merasakan betapa suara shalawat itu sangat menyentuh hatiku.

Ibuku langsung menuntunku ke kamar. Tapi aku bilang aku mau jalan sendiri. Ibuku melepaskan genggamannya memang, tapi tetap siaga disampingku. Aku merasakan sekali hawa tubuhnya sehingga aku tahu disampingku masih ada seseorang. Aku pun jalan perlahan, bisa dibilang cukup lambat. Maklum, baru belajar orientasi medan ruangan baru sehingga masih sangat berhati-hati. Ibuku terus siaga, memberi instruksi jika langkahku salah.

Akhirnya sampailah pada pintu kamarku, kubuka pintunya dan aku langsung melangkah masuk beberapa langkah sesuai dengan yang sudah kupelajari di orientasi kamar sebelumnya. Perlahan kuraba kasurnya, kucari selimutnya, kuangkat kedua kakiku lalu masuk ke dalam selimut dengan perlahan, kemudian kepalaku pun kuturunkan sampai mengenai bantal yang begitu empuk. Kini aku tidak perlu susah payah memejamkan mata karena mataku sudah terpejam untuk selamanya.

***

Waktu sahur pun tiba. Ibuku bergegas membangunkanku dengan menepuk badanku. Aku pun akhirnya terbangun dan merubah posisi badan menjadi duduk. Setelah kesadaranku cukup penuh, aku keluarkan kedua kakiku dari selimut lalu memakai sepasang sendal dan ibuku pun lanjut menuntunku menuju ruang makan.

Setelah sampai, aku langsung dituntun untuk duduk di kursi. Dihadapanku ada meja makan yang di atasnya penuh dengan makanan. Aku hanya bisa menghirup aromanya. Piring makanku sudah terisi berbagai macam makanan. Ibuku sudah menyiapkannya agar aku tidak perlu lagi mengambilnya sendiri. Aku cari sendok di sebelah kanan piring dan garpu di sebelah kiri piring. Setelah berhasil kugenggam keduanya lalu kugunakan untuk makan. Biasanya aku makan dengan lahap dan cepat, namun sekarang sebaliknya, begitu kurang lahap dan lambat. Karena khawatir makanan tidak bisa habis sebelum waktu imsak tiba, akhirnya ibuku membantuku dengan menyuapiku. Setelah beres makan, aku coba meraba meja dan mencari gelas minumku yang sudah berisi air mineral oleh ibuku. Letaknya berada di sebelah kanan piring. Kuangkat gelasnya dengan perlahan hingga menyentuh bibirku. Ujung gelas terangkat dan air pun mengalir masuk menuju kerongkongan. Begitu menyegarkan.

***

Hari-hariku di sini begitu menyenangkan. Aku bisa sering mendengar radio dari radio lama nenekku yang antik. Aku bisa bermain piano nenek dengan penuh penghayatan. Tentu saja karena indera pendengaranku menjadi lebih sensitif sekarang.

Sampai suatu ketika ibuku mengabari bahwa sebentar lagi aku akan memiliki sebuah benda yang sangat bernilai sekali bagi hidupku. Aku penasaran sebenarnya benda itu apa? Tapi ibuku tidak langsung memberitahuku, katanya biar menjadi kejutan.

Akhirnya benda yang dinanti pun tiba. Ibuku langsung memberikan sebuah kotak yang cukup besar di atas kedua pahaku. "Ini apa bu?", "Ini kejutan yang ibu maksud, bukalah..". Setelah dibuka, kuraba isinya, ternyata itu adalah Al-Qur'an Braile!

Aku langsung menangis. Aku merasa sudah tidak berkeinginan lagi untuk membaca kitab suci itu. Aku masih kesal pada Tuhan atas takdir yang aku terima ini. Lalu ibuku memelukku dengan erat dan berusaha menenangkanku. Ibuku bilang aku bisa mulai membacanya selepas shalat di setiap waktu. Aku turuti apa yang ibu katakan. Dan pada waktunya aku mulai mencoba membukanya. Jemari tanganku pun mulai meraba bagian kertas yang timbul itu dengan perlahan. Ibuku langsung mengontrol jemariku agar sesuai dengan darimana memulainya. Ibuku ternyata belajar huruf braile secara otodidak demi aku. Aku dituntun dengan sangat sabar agar aku bisa pandai membaca setiap hurufnya yang rumit itu. Aku pun kembali menangis tersedu-sedu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun