Mohon tunggu...
Nidamia
Nidamia Mohon Tunggu... Freelancer - verba volant, scripta manent

seorang sarjana psikologi yang meminati konsentrasi psikologi sosial. tentangku bisa dilihat di about.me/nida.damia :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meraba Fana

31 Maret 2019   12:55 Diperbarui: 31 Maret 2019   18:56 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.shutterstock.com/

Aku hanya merespons dengan senyuman. Aku sebenarnya tidak mau. Tapi aku juga tidak mau membuat ibu bersedih. Aku terpaksa menyetujuinya.

Sampailah aku masuk ke dalam mobil. Aku duduk di jok depan. Ibuku memasangkan sabuk pengaman. Kuraba pula sabuk itu dari ujung ke ujung. Dahulu aku paling malas menggunakannya. Tapi sekarang aku sadar betapa pentingnya sabuk pengaman, apalagi bagi penderita tuna netra sepertiku. Ibu dan bibi duduk di jok tengah. Semua barang disimpan di jok belakang. Setelah semua siap, kami berangkat.

***

Akhirnya tibalah kami di rumah nenek. Benar kata ibu, suasana di sini begitu adem, jauh dari suara bising kendaraan. Ini seperti di pedesaan, udaranya segar, sejuk, begitu damai rasanya.

Pak supir membunyikan klakson mobil dan suara pagar bergeser pun terdengar setelahnya. Kemudian munculah suara seperti seorang wanita paruh baya yang begitu riangnya. Ya, siapa lagi kalau bukan nenekku.

"Alhamdulillah sudah datang.. duh nenek tunggu kok lama sekali.."

"Iya nek, jalanan macet sekali tadi, maklum udah masuk waktu liburan..", jawab pak supir dengan nada yang begitu terdengar ramah. Aku dan ibu turun lebih dulu dan langsung melangkah masuk menuju rumah nenek, sedangkan bibi dan pak supir sibuk mengangkat barang bawaan kami.

Aku dituntun ibuku sampai duduk di sofa yang begitu empuk. Aku raba kain yang menutupi sofa itu hingga beberapa bantal di atasnya pun turut aku raba dan peluk karena begitu lembut dan empuk. Kemudian nenekku menawariku beberapa pilihan minuman untuk disuguhkan kepadaku. Aku pilih coklat panas saja karena disamping rasanya lezat, aku merasa kedinginan di sini sehingga butuh asupan yang panas atau hangat untuk menyeimbangkan suhu tubuhku.

Ibuku tiba-tiba mengangkat tanganku dan badanku pun turut terangkat juga. Ia menginstruksikan bahwa aku harus mengikuti langkahnya. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana, tapi ibu bilang tempat itu akan menjadi tempat ternyaman bagiku. Lalu sampailah kami memasuki sebuah ruangan dan aku langsung duduk di atas kasur yang begitu empuk. Ternyata aku masuk ke dalam sebuah kamar yang dulunya adalah kamar ibuku sewaktu kecil hingga menginjak usia dewasa awal. "Sekarang kamar ini menjadi milikmu..", ucap ibu. Aku hanya tersenyum.

Setelah itu ibuku menuntunku melakukan orientasi kamar ini. Kuraba semua benda yang ada di sini, dari mulai membuka pintu kamar, meraba meja belajar, lemari, menginjak keset, dan yang paling utama aku harus meraba semua sudut dinding kamar agar kemampuan spasialku dalam membayangkan bentuk kamar ini jauh lebih baik. Begitu juga terhadap ruangan lainnya. Seluruh rumah ini harus aku raba, dari mulai pagar utama hingga taman belakang. Memang cukup sulit dan lelah sekali melakukannya, namun aku harus paksakan karena aku ingin bisa jalan mandiri tanpa selalu bergantung dituntun orang lain.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun