Time is but a river flowing from our past. Bagi yang sudah pernah menonton film The Shape of Water, mungkin ungkapan tersebut sudah tidak asing bagi kita. Bukan cuma kalimatnya, artinya pun sepertinya juga sudah paham betul.
Tidak. Dalam tulisan ini kita tidak akan menemukan dan membaca pembahasan mengenai film tersebut. Ungkapan tersebut hanya saya bandingkan dengan salah satu pertandingan, atau katakanlah satu kesebelasan Piala Dunia 2018, dalam hal ini timnas Jerman.
Ungkapan tersebut, apabila Joachim Loew, atau mungkin para pemain timnas Jerman, pun dengan suporter atau orang Jerman sendiri, membaca atau mendengar ungkapan tersebut, kemungkinan akan tersentuh dan merenungkannya.
Arti ungkapan tersebut sebetulnya bisa beragam, tergantung pada kita yang menafsirkannya. Begitu saya dan Anda membaca kalimat tersebut secara bersamaan, bisa jadi kalimat tersebut akan berbeda arti karena perbedaam penafsiran tadi.
Artinya kira-kira: waktu hanyalah seperti sebuah sungai yang mengalir dari masa lalu. Kurang lebih, jika saya andaikan diri saya sebagai orang Jerman, terkhusus fan Die Mannschaft khususnya, saya akan was-was dengan ungkapan tersebut.Â
Terlebih jika hal tersebut saya kaitkan dengan 'kutukan' juara bertahan Piala Dunia dalam dua edisi terakhir. Jadi, penafsiran (lebih tepatnya kekhawatiran) saya adalah: Jerman akan mengalami 'kutukan' berupa tidak lolos fase grup. Hal ini muncul ketika secara mengejutkan Jerman kalah dari Meksiko di pertandingan pertama mereka, lewat gol Hirving Lozano di menit ke-35.
Mengingat ke masa lalu, ke 'hulu sungai', juara bertahan dikaitkan dengan Spanyol, sebagai juara bertahan Piala Dunia edisi 2010, yang dianggap gagal total di Piala Dunia 2014, dan memang itulah kenyataannya. Miris, juara bertahan bahkan tidak bisa lolos dari grup.Â
Lebih miris lagi karena di pembukaan grup, La Furia Roja dibantai Belanda 1-5! Padahal, tim tersebut empat tahun sebelumnya dikalahkan Spanyol di final Piala Dunia 2010 dengan skor 1-0, di menit-menit akhir babak tambahan kedua.
Di pertandingan kedua, bukannya bangkit dan makin membaik, Spanyol lagi-lagi kalah, dari Chile, yang notabene bukan negara unggulan. Bahkan secara kualitas skuat pun masih lebih baik Spanyol. Meski di pertandingan ke-3, pasukan Vicente Del Bosque mampu menang atas Australia, tiga poin tersebut menjadi sia-sia karena mereka gagal lolos ke babak selanjutnya.
Mundur lagi ke Piala Dunia sebelumnya, yaitu Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Masih membicarakan tentang si juara bertahan. Italia adalah juara bertahan di edisi ini setelah memenangkan edisi sebelumnya, Piala Dunia 2006 di Jerman.
Italia juga gagal di Afrika Selatan, dan tidak mampu lolos dari grup. Di pertandingan pertama ditahan imbang Paraguay 1-1, di laga kedua pun masih sama dengan ditahan seri Selandia baru, denga skor identik dengan pertandingan pertama. Di laga ketiga, mimpi La Nazionale juara, bahkan untuk ke 16 besar saja, digagalkan oleh sesama negara Eropa, Slovakia dengan skor 2-3.
Mundur lagi ke Piala Dunia 2002. Ya, Piala Dunia pertama di benua Asia, tepatnya Korea Selatan-Jepang. Sengaja saya melewatkan Piala Dunia 2006 Jerman karena Brazil, juara bertahan di edisi tersebut, mampu melaju ke perempat final sebelum usaha ke semifinal digagalkan oleh Prancis.
Di Piala Dunia 2002, yang 'menjabat jabatan' juara  bertahan adalah timnas Prancis, setelah Les Bleus mejuarai edisi 1998 di negara sendiri. Di Korea-Jepang, Les Bleus memulai dengan kekalahan, yang tentu saja mengejutkan, dari Senegal. Kemudian bermain imbang tanpa gol dengan Uruguay di laga kedua, dan yang terakhir, dihantam Denmark 0-2. Dengan hasil-hasil tersebut, Prancis gagal lolos dari fase grup.
Entah mengapa, nasib tim juara bertahan selalu terseok-seok di Piala Dunia berikutnya. Sebenarnya jika mau menelaah lebih jauh, para juara bertahan juga mengalami hal-hal serupa. Seperti sebuah tulah.
Tapi, bukan berarti tidak ada negara yang mampu menjuarai turnamen Piala Dunia secara konsekutif. Tanyakan pada orang Italia dan Brazil, pasti mereka dengan lantang menjawabnya, bahwa negara mereka pernah melakukannya, menjuarai Piala Dunia secara beruntun.Â
Italia melakukannya pada Piala Dunia 1934 dan 1938. Dan Brazil, mampu menjuarai turnamen sepak bola terbesar sejagad tersebut pada edisi 1958 dan kemudian edisi 1962, yang fakta tersebut tetap saya percayai meski saya belum lahir pada gelaran tersebut, bahkan mungkin Anda pun juga belum lahir di tahun-tahun tersebut?.
Dalam tulisan ini, pembahasan mengenai juara bertahan memang hanya membahas juara bertahan di edisi Piala Dunia setelah era pergantian milenium kedua. Selain masih segar di ingatan Anda, rasanya tidak perlu menyusuri sampai hulu 'sungai' seperti dalam ungkapan di awal tulisan tadi.
Kembali ke Jerman, atau ke timnas Jerman. Meski para pendukung Der Panzer sedikit khawatir jika melihat para juara bertahan edisi terdahulu, dan mengaitkannya dengan Jerman tentunya, saya kira mereka juga perlu mendalami ungkapan time is but a river flowing from our past dengan makna lain.
Joachim Loew selaku pelatih dan para pemain timnas Jerman perlu 'mencuri' ilmu atau inspirasi pada Italia (Maaf saya sebut meskipun negara ini tidak lolos) dan Brazil soal menjuarai Piala Dunia secara berturut-turut. Bahkan, Real Madrid pun bisa dijadikan inspirasi.Â
Ya, Los Blancos tahun ini menjuarai Liga Champions untuk ketiga kali secara berturut-turut mulai tahun 2016 hingga 2018, setelah sebelumnya hal tersebut dianggap sebagai mitos belaka!
Jika melihat pada hasil dan statistik pertandingan Jerman kontra Meksiko kemarin, rasanya tidak adil mengadili Jerman bersalah atas ketimpangan statistik dan hasil akhir tersebut. Nyatanya, Die Mannschaft mampu melepaskan 25 tembakan dengan 9 di antaranya tepat sasaran. Sedangkan Meksiko melepaskan 'hanya' 12 tembakan dan 4 di antaranya tepat sasaran.
Bahkan, jika melihat statistik lain, seperti penguasaan bola dan pasing serta pasing akurat, Der Panzer lebih unggul daripada El Tri. Meksiko lebih banyak bertahan, dan melakukan serangan balik, namun serangan balik ini begitu efektif sehingga menghasilkan gol tunggal Hirving Lozano ke gawang Manuel Neuer.
Jadi, kesimpulan saya, Jerman hanya kurang beruntung di pertandingan tersebut. Jika dikomparasikan dengan tiga tim lain yang juga menjadi semifinalis di Piala Dunia sebelumnya, yaitu Argentina dan Brazil, --maaf, saya tidak akan menyebut Belanda---, Â semuanya mendapat hasil yang minor.
Argentina, di laga pembuka lalu diimbangi Islandia 1-1. Sekilas tidak ada yang salah, tapi bagi publik Argentina, hal tersebut adalah sama dengan kalah! Terlebih Islandia adalah tim debutan, plus yang perlu diingat juga adalah Messi gagal mengeksekusi penalti.
Kemudian Brazil, hasil yang sama dengan Argentina, yaitu ditahan imbang Swiss 1-1. Bagi Brazil yang katanya adalah unggulan pertama di turnamen ini, hasil tersebut juga berarti kekalahan.
Dan yang terakhir: Jerman. ini sudah saya sebut di awal tulisan tadi dan saya yakin Anda sudah tahu hasilnya: kalah, iya kalah sungguhan! Jangankan imbang rasa kalah, ini adalah suatu kekalahan menyakitkan di mana sebenarnya Jerman unggul secara permainan atas Meksiko. Hanya, takdir berkata lain. Hasil akhir tak sesuai harapan, apalagi statistik.
Namun, Jerman tidak perlu galau kemudian seolah ini sudah akhir dari perjuangan menuju mimpi mereka mempertahankan trofi Piala Dunia. Sekali lagi, masih melalui ungkapan di awal tadi, Joachim Loew perlu memotivasi anak buahnya untuk melihat masa lalu bahwa Italia dan Brazil pernah mengangkat trofi Piala Dunia secara berturut-turut dalam dua edisi dan melihat masa lalu yang lain bahwa Jerman adalah Jerman, Der Panzer tetaplah Panser, tim kuat yang merupakan spesialis turnamen.
Loew perlu menginspirasi dan memotivasi. Bahwa masa lalu yang baik itu juga akan seperti sungai, yang akan terus mengalir hingga kepada skuat timnas Jerman saat ini yang dibawa ke Rusia, yang baik saja yang mengalir, bukan kutukannya yang mengalir.
Saya kira, hampir mustahil Joachim Loew akan membaca tulisan ini. Dan selain itu, rasanya aneh juga jika kita bukan orang Jerman tapi mendukung Jerman, dalam hal ini: timnas Jerman. Tapi, masih bisa diwajarkan, karena Indonesia sendiri tidak lolos ke Piala Dunia.
Dan sebagai penutup, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda, ya! Bukan, saya tidak sedang iklan, karena 'sepertinya' saya kurang laku jika untuk jadi pelaku endorse. Ini saran saja, daripada Anda nonton sendirian dan tanpa ditemani camilan.
@nicopurwanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H