“Gaji para pegawai di perusahaan minyak asing kita lebih rendah dari para expatriat, padahal beban kerja dan tanggung jawabnya sama. Jika bicara nasionalisme ekonomi, maka keadilan bagi para pekerja kita di perusahaan milik asing juga harus disuarakan”, tambah Lawe.
“Jangan picik begitu, kawan. Kita kan hidup di jaman globalisasi. Saat ini semua saling terhubung. Maka kerjasama dalam bisnis itu penting. Tidak ada negara yang bisa mandiri dengan membatasi kerjasama dengan negara lain, kecuali tak akan maju seperti Korea Utara. Bukankah justeru negara seperti Amerika Serikat menerapkan larangan perusahaan-perusahaannya melakukan penyuapan di negara lain?” sergah Sadrach seperti mendidih darahnya.
“Juga kalian harus paham, swastanisasi dan liberalisasi ekonomi itu akan menciptakan efisiensi yang akan memberikan pelayanan terbaik untuk konsumen. Jadi kita tidak harus membatasi investasi asing ke negara kita. Kenapa BUMN dan BUMD kita banyak yang merugi. 75% PDAM merugi. Berapa jumlah BUMN kita yang untung? Orang-orang politik di Senayan, tak terlalu tahu masalah efisiensi dan inovasi dan hanya menganggap BUMN sapi perahan belaka. Kalau perusahaan negara kita belum mampu, dan masih banyak terjadi kebocoran karena korupsi, maka why not perusahaan asing yang mengelola”, statement Sadrach seperti gelombang besar yang mengombang-ambingkan percakapan itu.
“Bukankah setiap ada tuntutan terkait Freeport, selalu diikuti dengan gejolak politik dan keamanan di Papua. Gejolak di Papua akan selalu menjadi kartu yang dimainkan untuk menjaga berlangsungnya penghisapan kekayaan alam kita, persis cerita film Avatar. Itu hanya analisisku yang orang asli Papua, lho”, jawab Sulaeman Pattipi .
“Janganlah forum ini berubah menjadi percakapan warung kopi. Itu hanyalah teori konspirasi, kawan. Kita ini civitas academica, kawan. Jangan sampai pembicaraan kita merembet pada teori yang tak ilmiah. Aku sebenarnya setuju jika konsesi Freeport direnegosiasi ulang. Tapi aku nggak bisa bantu, kawan. Tahu sendirilah, dana-dana lembaga kami dari negara sana.”, kata Sadrach mencoba bertahan.
(Lawe teringat kata-kata Joe Octovitz suatu waktu, “kalau negara ingin menaklukkan negara lain, maka ciptakan kekacauan dahulu, maka akan mudah menaklukkannya kemudian. Hal ini telah terjadi di Eropa Timur dimana dulu dibuai mimpi liberalisme ekonomi, namun hasilnya sekarang perusahaan-perusahaan negara dimiliki oleh asing”).
“Jika kekayaan sumberdaya alam Nusantara tidak dihisap oleh bangsa lain, maka rakyat Nusantara itu kaya. Bahkan negeri kita akan bisa memberikan beasiswa kepada para mahasiswa dari negeri lain untuk menarik simpati mereka seperti dilakukan negara-negara besar semacam China, Amerika, Eropa dan Jepang. Yang akan terjadi adalah occidentalisme; sumbangan kepada negeri-negeri Barat berupa nilai-nilai kebaikan Asia seperti nilai-nilai keluarga dan religi. Tidak akan terjadi lagi para pemuda-pemudi berbakat kita mengemis proposal kegiatan ke negara lain dengan menjual bangsanya sendiri”, seru Lawe mantap.
“Kalian harus ingat, kawan. Toh negara-negara Besar yang kalian kritik itu telah menolong kita, misalnya saat bencana Tzunami melanda. Ingatkah kawan-kawan Kapal USS Abraham Lincoln digunakan untuk membantu korban Tsunami Aceh, bersama USS Essex, USNS Mercy, 6 Hercules C-130’s, 12 Helicopter, obat-obatan, air minum, bantuan kemanusiaan, generator dan alat kesehatan darurat. Jangan lupa, negeri Adidaya itu juga membantu pembangunan jalan Banda Aceh – Calang untuk memenuhi komitmen internasional. Jika memang obat, kalian harus mengambilnya dari musuh. Tetapi jika itu racun, anda harus menolaknya meski datang dari seorang teman”, Sadrach mencoba menetralisir suasana.
Posisi Sadrach seperti daging sapi di dalam burger, terjepit antara kepentingan funding asing dan bangsanya sendiri. Jarang sekali LSM liberal yang bisa menyatukan idealismenya dengan keinginan lembaga pemberi donor. Lebih jarang lagi yang bisa mandiri secara pendanaan, sehingga mampu independen untuk memperjuangkan idealismenya. Makanya hampir tidak ada LSM yang kritis terhadap negara penyokong dana mereka. Ketika pembantaian terjadi di negara-negara lain, para pegiat HAM pesanan itu akan diam seribu bahasa karena menganggap tidak strategis dan tidak akan mendatangkan aliran dollar ke kantong mereka. Makanya sudah selayaknya NGO terutama yang dibiayai asing diaudit sumber pembiayaannya.
Memang tidak semua NGO yang dibiayai asing bertabrakan dengan kepentingan bangsa, tapi agenda mereka adalah kepentingan asing, dengan menggunakan isu-isu tertentu sebagai alat penekan. Sejak lama misi orientalisme ingin melemahkan bangsa Nusantara dengan membuat perpecahan-perpecahan agar anak-anak bangsa melupakan penjajahan terhadap kekayaan alam mereka.
Lawe mengritik Sadrach dalam sebuah diskusi mingguan, “Bagaimana kau menjelaskan email-emailmu di milis yang mendukung sparatisme, Drach?.Jangan jual negaramu sendiri kepada pihak asing, kawan”, untuk meminta pertanggungjawaban tulisan Sadrach dalam sebuah milis, “Kalau memang beberapa daerah mau memisahkan diri biarlah mereka memilih masa depannya sendiri. Toh Nusantara masih memiliki wilayah yang lain. Ibarat orang mau cerai, kenapa mesti dihalang-halangi“.