Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

#Puzzle 8: Dust Buster Story

29 Desember 2015   16:18 Diperbarui: 29 Desember 2015   16:30 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nuansa kebebasan akademis di kampus Australia memungkinkan diskusi penuh energi itu terjadi. Pemikiran-pemikiran kritis yang telah disuarakan di negeri sendiri semakin nyaring terdengar. Sudah bukan menjadi perkara tabu mengolok-olok negeri sendiri sebagai jagoan korupsi kelas dunia ditengah-tengah mahasiswa internasional. Sangat kontras dengan perilaku mahasiswa China dan Vietnam yang tertutup tentang politik negerinya. Sadrach berupaya mempengaruhi teman-temannya untuk menuruti pemikiran liberalnya meskipun mengorbankan integritas kesatuan bangsanya serta menjual murah kekayaan negerinya. Dalam banyak kesempatan, ia mendukung daerah yang ingin melepaskan diri dari pemerintah pusat. Kali ini keenam mahasiswa itu sedang mendiskusikan penguasaan perusahaan-perusahaan multinasional asing atas kekayaan bumi Nusantara.

Membicarakan sumberdaya alam Nusantara itu seperti membicarakan kekayaan yang bukan milik kita, kawan. Buktinya begitu banyak kontrak pertambangan yang sungguh tidak adil bagi negara kita. Kontrak-kontrak Karya itu dibuat saat pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto yang sangat menguntungkan pihak perusahaan multinasional asing. Freeport contohnya, bertahun-tahun hanya membayar royalti 1% untuk bahan emas yang diambil, setelah bertahun-tahun mengakui sedang menambang bahan tembaga. Jadi nama Kota Tembagapura itu lebih tepatnya adalah Emaspura”, Penjelasannya Lawe seperti pizza lezat masakan seorang koki pemenang acara Master Chef yang dihidangkan panas-panas, membuat yang hadir ingin segera menikmatinya.

Benar, kawan. Sejak tahun 1967 melalui Freeport Amerika Serikat menguasai konsesi tambang di Grasberg dengan cadangan emas 46,1 juta troy ounce atau sebesar 1.429 milliar gram emas. Jumlah bahan-bahan tambang yang diambil tak terdeteksi dengan akurat, karena pengolahannya langsung dilakukan di luar Nusantara. Dalam ilmu pertambangan bisa dipastikan di dalam deposit batuan emas itu juga mengandung bahan uranium. Ironisnya, penguasaan saham pemerintah pada PT Freeport hanya 9,36%, jadi sangat minoritas untuk bisa mempengaruhi keputusan korporasi. Kontrak Karya semacam ini benar-benar sebuah penjajahan atas sumberdaya alam kita. Seolah Papua tidak masuk dalam yurisdiksi kedaulatan kita”, kata Ahmad yang sejarawan, lalu menambahkan: “Kurang dari satu generasi, Negeri Nusantara telah kembali dijajah bangsa lain. Kekayaan alamnya bukan untuk penduduknya, tetapi untuk perusahaan-perusahaan multinasional”.

Pembahasan kontrak karya tidak sesederhana itu, kawan. Dalam ilmu hukum itu dijelaskan; Contract is contract! Melanggar kontrak berarti wanprestasi, bro! That is just flat out stupid. Juga harus diingat, saat perjanjian itu ditandatangani, ekonomi kita sedang morat-marit pasca hancurnya Orde Lama, sehingga kita sangat memerlukan investasi asing”, kata-kata Sadrach agak congkak khas kaum liberal.

VOC saat menjajah Nusantara juga berdasarkan kontrak yang jelas, tentang penyewaan lahan untuk perkebunan atau pembangunan benteng-benteng pertahanan. Namun semua orang tahu substansinya sangat menghisap kekayaan alam dan manusia kita”, argumen Lawe seperti gerakan lincah Burung Srigunting meladeni angkuhnya sang gagak hitam.

VOC dulu datang dengan menawarkan konsesi monopoli atas produk-produk pertanian dan perkebunan yang bernilai mahal di Eropa. Mereka mendirikan benteng untuk memastikan hegemoni kontrak-kontrak mereka dilaksanakan oleh kerajaan-kerajaan partner. Setelah VOC mapan, pelan namun pasti mereka benar-benar menjajah bangsa kita secara ekonomi, sosial, politik dan keagamaan”, tambah Dadang Suhendar dari Bappennas mendukung argumen Lawe.

Bukankah biaya eksplorasi pertambangan itu mahal, kawan. Contohnya, untuk mendapatkan sumur minyak produktif, investor harus melakukan pengeboran berkali-kali. Dari lima kali pengeboran mungkin hanya satu atau dua yang berhasil. Dari yang berhasil itupun belum tentu mendapatkan sumur yang ekonomis, atau bisa beroperasi sampai puluhan tahun. Bisa-bisa hanya beroperasi setahun, lalu “habis”. Investasi pertambangan itu mahal dan beresiko tinggi. Ingat kejadian semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo akibat kesalahan pengeboran, bro! Bukankah telah dipahami adagium di dunia bisnis itu high risk, high return”, tangkis Sadrach.

Pikiran Sadrach itu, yang pertama ngawur, yang kedua banget ! Emas Freeport termasuk yang paling mudah diambil. Saya berasal dari Papua, sobat. Pada saat eksploitasi dimulai, gunung emas open pit itu hanya perlu dikeruk dan diolah sudah bisa menjadi batangan emas yang pasti laku di pasar internasional. Emas itu nilainya tak pernah turun, kawan. Jadi pemilik konsesi Freeport itu benar-benar seperti memiliki tangan Midas! Bahkan tak disentuhpun gumpalan-gumpalan itu memang emas”, sergah Sulaeman Pattipi.

Kontrak Karya Freeport itu memang terjadi karena kecelakaan sejarah. Kontrak itu benar-benar konsesi yang hanya menguntungkan asing. Makanya Amerika benar-benar menjaga kepentingan ekonominya itu, dengan cara apapun. Karakteristik negara superpower ini memang digerakkan oleh kepentingan ekonominya semata. Perangpun akan dilakukan jika bisa memberikan manfaat ekonomi, khususnya minyak dan bahan-bahan tambang bernilai mahal atau untuk bisnis peralatan militer mereka, kawan”, kata Ahmad Gassing sang sejarawan Universitas Nusantara.

Sang mahasiswa Asian Studies itu lalu menambahkan; “Kalau kita mengenal tentara Gurkha sebagai tentara bayaran global di masa lampau, di jaman sekarang lebih jauh perusahaan keamanan semacam XE Corporation mampu memengaruhi pemerintah resmi melakukan peperangan di berbagai negara. Perusahaan besar itu mampu mendorong pemerintah mereka untuk membuka pertempuran demi konsesi minyak, yang otomatis akan membuka peluang bagi kontrak-kontrak jasa keamanan dengan keuntungan milyaran dollar. Mereka mirip negara di dalam negara. Demi mengamankan pipa minyak di Asia Tengah, atau sumur-sumur minyak di Irak dan Timur Tengah mereka tak segan menggelar operasi militer. Kalau menggunakan militer resmi milik negara beresiko secara politik dengan jatuhnya korban, para industrialis kapitalis itu bisa menggunakan kontraktor militer swasta semacam Black Water atau Xe Corporation yang lebih aman secara politik. Memang sekarang ini era swasta, tidak jauh-jauh, di sini saja urusan penjagaan penjara telah disubkontrakkan kepada perusahaan swasta”.

Kan saat itu negara kita sedang tak punya SDM yang cukup, Bro n Sist. Kalau Bung Karno mati-matian menjaga SDA kita sampai SDM bangsa kita mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi sendiri, kebijakan Pak Harto justeru bertolakbelakang yaitu ramah terhadap investor asing. Jangan lupa saat itu kita negeri miskin. Jadi, apakah kawan-kawan sekalian akan membasmi perusahaan Freeport dari tanah Papua?”, kalimat terakhir retoris Sadrach menggertak lawan diskusinya khas kaum liberal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun