Teh hangat yang telah disediakan Samiyem, semakin mengakrabkan obrolan bersama Ki Simun. Pria yang sudah berusia 74 tahun ini, kembali bercerita soal dirinya yang berjuang melestarikan wayang klasik. Menurutnya, wayang klasik berbeda dengan wayang-wayang sekarang, wayang klasik benar-benar murni mayang, tidak ketambahan dagelan (pelawak), maupun pengisi acara lainnya. “Simbah kan dalang wayang klasik, nah pakem simbah itu ya pakem purwokondho. Purwokondho itu hanya di Jogja, kalo Jogja gak boleh ketambahan kaya ndagel, karena ini warisan para wali,” jelas Ki Simun tegas.
Ki Simun menceritakan, dalam mayang,dalang harus mengerti tiga pakem, yaitu Pakem Panjang Mas (Banyumas dan sekitarnya), Pakem Purwokondho (DIY) dan pakem Mahabarata (Surakarta hingga Jawa Timur). Menurutnya pakem yang sering digunakan oleh dalang-dalang sekarang adalah Pakem Mahabarata. Lanjutnya, karena pakem tersebut tidak terlalu lama waktunya, oleh sebab itu muncullah pelawak, atau pengisi acara lain untuk menambah waktu pentas wayang agar terasa lebih lama.
“Pakem Mahabarata itu kalo gak pake pelawak ya cuman sampe jam 12 malam, ia berasal dari India, kalo pakem purwokondho kan asalnya dari para wali, maka gak boleh ditambah-tambah, dan biasanya memang lama bisa sampe subuh simbah mayang,” ingat Ki Simun.
Darah Seni
Ketertarikan Ki Simun pada dunia wayang, nyatanya tak terjadi begitu saja. Pria yang masih terlihat gagah meski sudah berusia sepuh ini bercerita jika dirinya dan dalang-dalang di Yogyakarta lainnya adalah satu keluarga. “Ya, jadi dalang-dalang di Jogja semuanya itu satu keluarga, keturunan dalang-dalang semua, lha si Ki Seno dalang terkenal sekarang itu, prunan (arti: keponakan) saya,” kata Ki Simun.
Darah seni begitu mengalir pada Ki Simun dan keluarganya. Ia bercerita pengalamannya di dunia mayang didapat karena diajari oleh Bapaknya yang juga dalang. Pria bertubuh tinggi ini memulai profesi sebagai dalang sejak umur 12 tahun. Kala itu, kata Ki Simun, ia tidak sekolah, namun ia merasa bangga. “Simbah mayang sejak tahun 1952, lalu 1954 sudah kondang di sekitar sini, nah dulu itu cuma liat Bapak main, lalu diajari yang benar. Simbah gak sekolah, jarene (arti: katanya) Bapak gak perlu sekolah, kamu itu sudah payu (arti: laku), lha Bapak saya bangga, saya juga,” kenang Ki Simun senang.
Ya, memang jaman itu, anak-anak pribumi yang sekolah masih cukup jarang dan terbatas hanya untuk kalangan priyayi (arti: anak bangsawan). Namun keterampilan dan bakat yang dipunyai Ki Simun menjadikan berkah dan kebanggaan bagi dirinya sendiri, maupun anak cucunya.
Ki Simun memiliki 4 anak dan 8 cucu yang semuanya juga tertarik di bidang seni. Salah satu cucunya, bahkan pernah pentas sampai pada tahap internasional, yaitu di Myanmar mengikuti pentas seni tari.
“Jadi darah seni mengalir betul di sini, seni itu ora bisa diwulang (arti: tidak bisa dipelajari/formal), ini sudah kojrat (arti: turunan),” jelas Ki Simun.
Perjuangan
Ki Simun menjadi satu-satunya dalang sepuh atau gaek yang masih aktif memainkan wayang klasik (wayang dengan pakem purwokondho). Meski sudah 74 tahun, dirinya masih eksis mayang,buktinya minggu lalu ia baru saja tampil di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat guna memenuhi undangan Sri Sultan. Ia tidak ingin kalah dari dalang-dalang muda, ia tetap menunjukkan keahliannya mayang meski tidak sekuat ketika muda.