“Yo ngene ki le nek mayang, ora iso diwulang, tapi kudu berjuang,” nilai pria tua itu
Wayang klasik kini kian tenggelam
Tergerus perubahan
Namun ada satu sosok pria tua gagah
Menolak semua itu
Ia adalah Ki Simun
Sang Pahlawan Pelestari Wayang Klasik
Siang itu matahari cukup terik, udara khas pantai daerah Gunung Kidul begitu terasa di dusun ini, meski masih cukup jauh dari pantai. Berjarak sekitar 35 Km dari pusat kota Yogyakarta, membuat daerah ini masih sepi dan jauh dari kata keramaian. Padukuhan Ngleri Wetan, Desa Ngleri, Kecamatan Playen tidak melulu bicara soal sepi. Sosok terkenal nan menjadi panutan di kalangan pecinta seni khususnya perwayangan, nyatanya bertempat tinggal di sini.
“Monggo, mlebu(arti: masuk, bahasa Jawa) o,” kata pria tua itu ramah. Pria tua itu ialah Ki Simun. Sebagai dalang, ia punya nama panggung Ki Simun Cermo Joyo. Ada cerita unik terkait nama Ki Simun dan Cermo Joyo. Ternyata jangan sekali-sekali menanyakan rumah Ki Cermo Joyo di padukuhan ini, tetangga dan orang sekitar Ki Simun pasti tidak tahu siapa orang yang dimaksud. Namun sebaliknya, jika orang bertanya rumah Ki Simun, sontak orang padukuhan langsung memberitahu dan mengantar sampai pada alamat yang dimaksud. “Cermo Joyo itu nama panggung, orang-orang luar taunya saya ya Ki Cermo Joyo, kalo orang desa sini taunya ya Ki Simun hahaha,” jawab Ki Simun lepas diiringi tertawa.
Ki Simun hidup bersama istrinya yang bernama Samiyem. Pria asli Gunturan, Bantul ini juga menceritakan awal mula dirinya bertemu dengan istri tercintanya itu. “Dia dulu sinden, setiap Bapak saya ada acara, pasti ngundang dia sebagai sinden,” tutur Ki Simun sembari menyeruput kopi. Samiyem menilai Ki Simun sebagai pribadi yang pantang menyerah, entah dalam hal mayang (arti: memainkan wayang) maupun ngarit (arti: memotong rumput, biasanya untuk beternak). “Dia itu sudah tua, gak kesel mayang, ngarit juga,” nilai Samiyem.
Wayang Klasik
Teh hangat yang telah disediakan Samiyem, semakin mengakrabkan obrolan bersama Ki Simun. Pria yang sudah berusia 74 tahun ini, kembali bercerita soal dirinya yang berjuang melestarikan wayang klasik. Menurutnya, wayang klasik berbeda dengan wayang-wayang sekarang, wayang klasik benar-benar murni mayang, tidak ketambahan dagelan (pelawak), maupun pengisi acara lainnya. “Simbah kan dalang wayang klasik, nah pakem simbah itu ya pakem purwokondho. Purwokondho itu hanya di Jogja, kalo Jogja gak boleh ketambahan kaya ndagel, karena ini warisan para wali,” jelas Ki Simun tegas.
Ki Simun menceritakan, dalam mayang,dalang harus mengerti tiga pakem, yaitu Pakem Panjang Mas (Banyumas dan sekitarnya), Pakem Purwokondho (DIY) dan pakem Mahabarata (Surakarta hingga Jawa Timur). Menurutnya pakem yang sering digunakan oleh dalang-dalang sekarang adalah Pakem Mahabarata. Lanjutnya, karena pakem tersebut tidak terlalu lama waktunya, oleh sebab itu muncullah pelawak, atau pengisi acara lain untuk menambah waktu pentas wayang agar terasa lebih lama.
“Pakem Mahabarata itu kalo gak pake pelawak ya cuman sampe jam 12 malam, ia berasal dari India, kalo pakem purwokondho kan asalnya dari para wali, maka gak boleh ditambah-tambah, dan biasanya memang lama bisa sampe subuh simbah mayang,” ingat Ki Simun.
Darah Seni
Ketertarikan Ki Simun pada dunia wayang, nyatanya tak terjadi begitu saja. Pria yang masih terlihat gagah meski sudah berusia sepuh ini bercerita jika dirinya dan dalang-dalang di Yogyakarta lainnya adalah satu keluarga. “Ya, jadi dalang-dalang di Jogja semuanya itu satu keluarga, keturunan dalang-dalang semua, lha si Ki Seno dalang terkenal sekarang itu, prunan (arti: keponakan) saya,” kata Ki Simun.
Darah seni begitu mengalir pada Ki Simun dan keluarganya. Ia bercerita pengalamannya di dunia mayang didapat karena diajari oleh Bapaknya yang juga dalang. Pria bertubuh tinggi ini memulai profesi sebagai dalang sejak umur 12 tahun. Kala itu, kata Ki Simun, ia tidak sekolah, namun ia merasa bangga. “Simbah mayang sejak tahun 1952, lalu 1954 sudah kondang di sekitar sini, nah dulu itu cuma liat Bapak main, lalu diajari yang benar. Simbah gak sekolah, jarene (arti: katanya) Bapak gak perlu sekolah, kamu itu sudah payu (arti: laku), lha Bapak saya bangga, saya juga,” kenang Ki Simun senang.
Ya, memang jaman itu, anak-anak pribumi yang sekolah masih cukup jarang dan terbatas hanya untuk kalangan priyayi (arti: anak bangsawan). Namun keterampilan dan bakat yang dipunyai Ki Simun menjadikan berkah dan kebanggaan bagi dirinya sendiri, maupun anak cucunya.
Ki Simun memiliki 4 anak dan 8 cucu yang semuanya juga tertarik di bidang seni. Salah satu cucunya, bahkan pernah pentas sampai pada tahap internasional, yaitu di Myanmar mengikuti pentas seni tari.
“Jadi darah seni mengalir betul di sini, seni itu ora bisa diwulang (arti: tidak bisa dipelajari/formal), ini sudah kojrat (arti: turunan),” jelas Ki Simun.
Perjuangan
Ki Simun menjadi satu-satunya dalang sepuh atau gaek yang masih aktif memainkan wayang klasik (wayang dengan pakem purwokondho). Meski sudah 74 tahun, dirinya masih eksis mayang,buktinya minggu lalu ia baru saja tampil di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat guna memenuhi undangan Sri Sultan. Ia tidak ingin kalah dari dalang-dalang muda, ia tetap menunjukkan keahliannya mayang meski tidak sekuat ketika muda.
“Ini perjuangan, melestarikan budaya, selama saya masih ada, wayang klasik ya tetap ada, karena ini budaya kita, saya harap dalang-dalang muda juga melestarikannya,” tutup Ki Simun. Begitulah pesan dari sosok pahlawan wayang klasik kepada dalang-dalang muda sembari menutup obrolan hangat di siang terik khas Gunung Kidul itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H