Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perdebatan Formalisme Hukum dengan Realisme Hukum dalam Praktik: Warisan Perdebatan Abadi Realisme dengan Empirisisme

4 Februari 2024   05:05 Diperbarui: 4 Februari 2024   06:18 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Secara etimologi, empirisme dalam bahasa Yunani: empiria, empiros, dalam bahasa Latin: experiential berarti pengalaman. Pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan dalam empirisme. 

Jika dirunut lebih jauh ke belakang, maka umumnya Aristoteles cenderung empiris sementara Plato rasionalis (Lorens Bagus, 2005:197-198). Empirisme sebagai metode berpikir kemudian dijumpai pada David Hume yang dipertentangkan dengan rasionalisme Descartes

Empirisme dalam filsafat ilmu adalah pandangan bahwa penyelidikan ilmiah terbatas pada fenomena dan hubungan formalnya (Craig Dilworth, 2007:9). Sementara realisme berasal dari bahasa Latin: res, dan bahasa Inggris: realism, berarti hal, benda atau barang. 

Realisme diartikan sebagai upaya melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi atau idolisasi, cenderung menerima fakta apa adanya (Lorens Bagus, 2005:934). Realisme dalam filsafat ilmu adalah pandangan bahwa tugas sains juga menyelidiki penyebab fenomena dan hubungan-hubungannya yang berasal dari dunia nyata (Craig Dilworth, 2007:9).

Ringkasnya, perdebatan antara realisme dengan empirisisme dalam filsafat ilmu terletak pada problem epistemologi dan ontologi: status serta relasi teori dan dunia eksternal, tugas sains, prinsip kausalitas, kebenaran, dan status independensi eksistensi dunia objektif. 

Dilworth membatasi empirisisme pada investigasi saintifik terhadap fenomena dan relasi formalnya. Sementara realisme saintifik membenarkan bahwa gambaran teori ekuivalen dengan gambaran realitas oleh karena itu dunia eksternal eksis dan sains bertugas menjelaskan relasi penyebaban di dalamnya. Menjelaskan penyebab tidak mungkin bagi empirisisme, juga dunia objektif hanya dapat digambarkan sebagai fenomena, bahkan tergantung pengamat.

Akar Perdebatan Empirisme dan Realisme

Bagi Auguste Comte, studi tentang alam terbatas pada analisa fenomena untuk menemukan hukum-hukumnya, yaitu hubungan konstan dari urutan atau kemiripan yang tidak ada hubungannya dengan penjelasan kausalitas. Hipotesis tidak mungkin untuk entitas yang tak terakses. William Whewell menganggap gaya dalam fisika adalah spesifikasi empiris dari sebab akibat yang lebih umum sehingga tidak ada yang bisa terjadi tanpa suatu sebab. Keengganan Comte untuk masuk pada bagian dari mana fenomena dihasilkan menurut Whewell justru menyebabkan Comte keliru menafsirkan fenomena. Keengganan Comte mengajukan hipotesis pada sebab justru menjadi pintu masuk perdebatan abadi empirisisme dan realisme. J. S. Mill bahkan menilai tidak ada bedanya antara fenomena dan kausalitas. Hukum alam identik dengan relasi sebab akibat dalam alam. Mengikuti David Hume, Mill mengaggap penyebab semata-mata relasi fenomena yang sukses terjadi. Ernst Mach mengatakan sesuatu yang tidak dapat diketahui, yang terletak di balik sensasi, adalah perhatian metafisika. Padahal, realitas itu sebenarnya tidak melampaui apa yang bisa diketahui, semua yang bisa diketahui adalah sensasi dalam hubungan-hubungannya. Mach menilai dunia semata-mata kumpulan sensasi pengamat dan relasi matematis. Kausalitas hanyalah hubungan antar fakta yang hanya terdiri dari akumulasi sensasi. Pandangan Mach dikritik sebagai solipsisme. Seperti Berkley, Mach menganggap dunia hanya perluasan dari ego.


Ludwig Boltzmann melawan pandangan Mach, menganggap dunia di luar ego itu ada, dunia objetkif independen dari subjek. Entitas teoretis yang sulit dipersepsi seperti atom pastilah ada. Boltzmann juga menyarankan sains untuk tidak perlu menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya tujuan, saintis diminta untuk melampaui pengalaman dalam pertimbangannya untuk mengakui yang tidak pasti, berteori tentang realitas sambil mengakui sifat tentatif dari sesuatu. Henri Poincaré, seorang fenomenalis ketat membantah Boltzmann dengan mengatakan pencarian kebenaran harus menjadi tujuan satu-satunya dari sains. Poincaré sebenarnya ramah terhadap dunia eksternal dengan mengakui independensinya meskipun tidak dapat diakses. Realitas eksternal tersebut adalah realitas yang terjelaskan secara matematis, dan merupakan satu-satunya kebenaran. Ia juga membedakan maksim metafisis yang merupakan prinsip umum, hukum fenomena sebagai generalisasi real, dan teori kausal sebagai data yang tak dapat ditentukan. Teori kausal berguna sebagai kalkulasi. Ia menekankan pengaksesan dunia secara eksperimental, dinilai Dilworth sebagai instrumentalisme.


Pierre Duhem, memandang relasi teori dan realitas secara berbeda, bahwa teori adalah suatu model hukum dari realitas non-fenomena, untuk kepuasan imaginasi bukan rasio. Ia mengklasifikasikan teori sebagai explanatory theories mencakup penjelasan fenomena sebab akibat dan representational theories, sistematisasi hukum-hukum eksperimental. Duhem menekankan kriteria satu-satunya kebenaran fisika adalah eksperimen. Realitas non-fenomena diakui dengan jalan asumsi demi melindungi fenomena.

Pandangan serupa juga diajukan oleh N. R. Campbell, meyakini bahwa harusnya ada persesuaian universal antar hukum yang mendefinisikan realitas. Tetapi lebih jauh lagi, bahwa sasaran sains bukan hanya kebenaran, tetapi juga makna atau hal yang berkaitan dengan kepuasan intelektual. Hukum berurusan dengan kebenaran, teori dengan makna. Mengkritik konsep kausalitas Hume sebagai urutan peristiwa, Cambell mengaggap belum tentu fakta yang berurutan dan mendahuluinya adalah sudah pasti sebuah sebab.
Lingkaran Wina yang meneruskan logika postivisme Comte justru menilai perdebatan ini sepenuhnya permasalahan fenomena linguistik. Hal senada dilontarkan Hempel, menganggap penyebab sebatas keteraturan empiris, di mana keteraturan tersebut diatur dalam logika bahasa yang silogistik. Sains berurusan dengan data yang kompatibel dengan pengalaman. Rom Harré menilai sains berurusan dengan penjelasan mengapa dan dengan cara apa pola non-acak alam muncul. Prediksi berbeda dengan penjelasan karena penjelasan disertai kausalitas yang merupakan sekumpulan mekanisme sebagai model hipotetis yang identik dengan realitas.

Sementara B. Van Fraasen di satu sisi empiris karena mengakui kebenaran teori dari seberapa adekuat secara empiris, dan benar jika melindungi fenomena. Realitas pada dirinya sendiri sebenarnya dapat diakses, selama dapat diobservasi. Hal ini dinilai Dilworth justru bernada realis karena membayangkan eksistensi realitas eksternal yang independen, mengingat Fraasen juga mengatakan ‘dapat diobservasi’ adalah predikat yang tidak jelas. Teori adalah benar jika tidak ada lagi pendasaran lain untuk dipercaya. 

Larry Laudan termasuk sangat sengit mengkritik teori kebenaran tentang dunia natural, atau setidaknya mendekati kebenaran. Laudan tidak membedakan mana entitas teoretis dan yang tidak. Bagi realis jika suatu teori sukses menjelaskan mekanisme alam berarti teori tersebut juga setidaknya mendekati kebenaran. Teori bagi Laudan dipahami menurut garis empiris logis sebagai entitas yang benar atau salah, fungsinya menggambarkan daripada menjelaskan, teori juga berfokus pada pemecahan masalah. Dalam manifesto anti-realisnya yang sangat berpengaruh, A confutation of convergent realism (1981) (Juha Saatsi, 2002 : 1129-1139). Laudan berusaha menantang kaum realis dengan mengacu ke catatan sejarah tentang teori-teori yang berhasil namun tidak tepat dalam menentang hubungan yang ingin ditarik oleh kaum realis antara keberhasilan sebuah teori dan perkiraan kebenarannya, yaitu teori yang sukses bisa saja diposisikan kira-kira benar. Bentuk hubungan ini merupakan inti dari intuisi realis dari No Miracles Arguments (NMA), dimana intuisilah sebagai penjelasan terbaik dari keberhasilan ilmu pengetahuan mendekati kebenaran teori itu sendiri. Bagi Laudan, Pessimistic Meta-Induction (PMI) dirancang untuk setidak-tidaknya memberikan sanggahan yang kuat melawan NMA. PMI yang dimaksud Laudan, dapat direkonstruksi secara ringkas sebagai reductio yaitu: (1) diasumsikan bahwa keberhasilan suatu teori adalah ujian yang dapat diandalkan untuk kebenarannya, (2) maka sebagian besar teori ilmiah yang sukses saat ini adalah benar, (3) Kemudian sebagian besar teori ilmiah masa lalu salah, karena mereka berbeda dari teori sukses saat ini dalam cara yang signifikan, (4) banyak dari teori masa lalu ini juga berhasil, (5) oleh karena itu, keberhasilan suatu teori bukanlah ujian yang dapat diandalkan untuk kebenarannya (karena ini mengarah pada kontradiksi dalam (3) dan (4) (Juha Saatsi, 2002 : 1129-1139). Lebih lanjut Laudan secara khusus menyoroti klaim epistemik kaum realis dengan mendasarkan pada pandangan Boyd, Newton-Smith, Shimony, Putnam, Friedman dan Niiniluoto) bahwa tesis epistemik realisme terbuka untuk uji empiris. Jadi realisme epistemologis adalah hipotesis empiris. Bahkan doktrin epistemologis memiliki status empiris yang mendapat sambutan yang sama dengan ilmu pengetahuan (Larry Laudan, 2002: 1108-1128). Selanjutnya, Laudan tiba pada kesimpulan berikut: (1) adanya fakta bahwa istilah sentral sebuah teori merujuk tidak berarti teori itu akan berhasil, karena keberhasilan sebuah teori bukanlah jaminan untuk klaim yang mengacu pada semua atau sebagian besar istilah sentralnya. (2) Gagasan tentang kebenaran yang mendekati saat ini terlalu kabur untuk memungkinkan seseorang menilai apakah sebuah teori yang seluruhnya terdiri dari hukum-hukum yang mendekati benar akan berhasil secara empiris, jadi intinya adalah bahwa sebuah teori mungkin berhasil secara empiris bahkan jika itu tidak mendekati kebenaran sekalipun. (3) Kaum realis tampaknya tidak memiliki penjelasan apa pun atas fakta bahwa banyak teori yang kurang lebih benar dan yang istilah 'teoretisnya' tampaknya tidak merujuk pada kenyataannya, seringkali berhasil. (4) Pernyataan kaum konvergensi bahwa para ilmuwan dalam disiplin yang cukup matang biasanya melestarikan, atau berusaha melestarikan, hukum dan mekanisme teori-teori sebelumnya pada teori-teori selanjutnya mungkin salah, pernyataannya bahwa ketika hukum seperti itu dipertahankan dan sukses menjadi penerus, kita dapat menjelaskan keberhasilan utama dari kebenaran yang memegang teguh hukum dan mekanisme, yang mengalami semua kecatatan menghadapi kemungkinan kebenaran. (5) Bahkan jika dapat ditunjukkan bahwa merujuk pada teori-teori yang mungkin berhasil, argumen kaum realis bahwa teori-teori yang berhasil kira-kira benar dan sungguh-sungguh benar menerima begitu saja apa yang disangkal oleh kaum non-realis (yaitu, bahwa keberhasilan eksplanatori yang menandakan kebenaran). (6) Tidak jelas apakah teori-teori yang dapat diterima dapat menjelaskan atau menjelaskan mengapa pendahulunya berhasil atau gagal. Jika sebuah teori didukung dengan lebih baik daripada para pesaing dan pendahulunya, maka secara epistemologis teori tersebut tidak menentukan apakah teori tersebut menjelaskan mengapa para pesaingnya dapat berhasil. (7) Jika sebuah teori pernah difalsifikasi, maka tidak masuk akal untuk mengharapkan penerusnya harus mempertahankan semua isinya atau konsekuensinya yang terkonfirmasi atau mekanisme teoretisnya. (8) Tidak ada fondasi yang didirikan oleh kaum realis-kecuali oleh fiat bahwa epistemologi non-realis kekurangan sumber daya untuk menjelaskan keberhasilan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, meskipun realisme dapat menjelaskan setiap bagian dari keberhasilan ilmu pengetahuan, akan tetapi realisme tidak dapat, bahkan dengan cahayanya sendiri, menjelaskan keberhasilan banyak teori yang istilah-istilah sentralnya jelas tidak mengacu dan yang hukum dan mekanisme teoretisnya kurang-lebih benar. Epistemologi kaum realis yang cukup standar masih gagal menjelaskan banyak hal (Larry Laudan, 2002: 1108-1128).

Selain itu, menarik mengamati kritikan Laudan terhadap kaum realis yang ditutup dengan sindiran:
"My task here is, rather, that of reminding ourselves that there is a difference between wanting to believe something and having good rea- sons for believing it."
"Tugas saya di sini adalah, lebih tepatnya, mengingatkan diri kita sendiri bahwa ada perbedaan antara ingin memercayai sesuatu dan memiliki alasan yang baik untuk memercayainya."

Ini menunjukkan bahwa Laudan benar-benar ingin menunjukkan secara ekstrem kebingungan kaum realis yang seakan tidak memiliki pegangan. Bahkan lebih lanjut Laudan menutup ulasannya tentang kebingungan atas kaum realis dengan menyatakan:
"All of us would like realism to be true; we would like to think that science works because it has got a grip on how things really are. But such claims have yet to be made out."
"Kita semua ingin realisme menjadi kenyataan; kami ingin berpikir bahwa sains bekerja karena ia memiliki pegangan tentang bagaimana segala sesuatunya sebenarnya. Tapi klaim seperti itu belum dibuat."

Tanggapan kaum realis lainnya datang dari Nancy Cartwright. Ia bertolak dengan argumentasi bahwa hukum mendeskripsikan fakta tentang realitas. Ia lalu mendasarkan argumennya tentang faktisitas hukum-hukum, hukum fundamental adalah kebenaran. Oleh karena itu, kausalitas dijelaskan menggunakan hukum kausal dan penjelasan kausal juga sebuah kebenaran. Menjelaskan suatu fenomena adalah membuat model fenomena yang cocok dengan teori.


Pembedaan bentuk realisme diajukan oleh Ian Hacking, ada realisme entitas dan realisme teori-teori. Tentang teori dimaksudkan sebuah upaya konstruksi dunia yang sejati sementara tentang entitas dimaksudkan sebagai penelusuran apakah entitas-entitas dalam dunia tersebut eksis atau tidak. Entitas terbuka untuk dimanipulasi lewat eksperimen, oleh karena itu entitas teoretis harusnya ada.
Sebagai penutup, Hillary Putnam menyederhanakan problem dari perdebatan empirisme dan realisme saintifik sebatas masalah korespondensi. Realisme mencari korespondensi teori kebenaran sebagai bahasa ideal, apakah dapat diverifikasi atau difalsifikasi. Empirisme juga mengandalkan korespondensi dalam bentuk dapat diperiksa secara empiris. Putnam menggunakan diksi true observation sentences dan observational vocabulary sehingga terlihat penilaiannya terhadap realisme justru bersifat empirisme logis karena membatasinya pada problem bahasa. Baginya realisme memformalisasi bahasa dengan aturan logis agar postulat empirisnya berkesesuaian dengan teori. Namun lebih jauh Putnam justru menyampaikan argumen dari sudut empirisisme yang sangat masyur yaitu 'no miracle argument' atau 'NMA'. NMA mengklaim bahwa keberhasilan prediksi teori-teori ilmiah paling baik dijelaskan oleh kebenarannya sendiri (Radu Dudau, 2022 : 15).


Jika dapat dikategorikan secara kasar, Comte, Mill, Mach, Poincaré, Hempel, dan Putnam berada pada aliran empirisme. Kesamaannya adalah kesepakatan status ontologis dunia eksternal yang sulit untuk diakses dan memahami relasi formal fenomena cenderung sebagai jalan keluar. Whewell, Boltzmann, Duhem, Campbell, Harré, Laudan, Cartwright, dan Hacking ada pada jalur realisme. Mereka sepakat akan eksistensi dunia eksternal dan bagaimana teori sebenarnya kompatibel dengan dunia objektif. Sementara Fraasen memiliki argumentasi pada jalur empiris namun secara implisit mengindikasikan adanya dunia eksternal sehingga terlihat realis.

Perdebatan Realisme dan Formalisme Dalam Praktik Hukum


Perdebatan abadi antara realisme dan empirisisme diwariskan ke praktik hukum, utamanya bagi hakim dan praktisi hukum lainnya seperti pengacara dan jaksa penuntut dalam upaya menyusun pertimbangan hukum guna membenarkan atau menyalahkan suatu perbuatan. Namun uniknya, tidak semua ahli hukum menganggap formalisme diturunkan dari positivisme seperti pandangan Brian Leiter yang menganggap bahwa positivisme sebagai teori hukum tidak ada relasi konseptual dengan formalisme sebagai teori peradilan dengan alasan bahwa tidak ada ajaran positivisme yang mengatakan bahwa hukum membatasi hakim karena pada dasarnya positivisme bukan tentang tindakan hakim melainkan teori mengenai konsep hukum dan hubungan antara norma-norma hukum dan norma lainnya. Maka kedua tesis positivisme tidak memerlukan klaim substansial tentang peradilan, dimana seorang formalis bisa saja adalah seorang positivis, tetapi juga bisa menjadi seorang naturalis. Demikian halnya dengan seorang positivis sangat mungkin berpandangan bahwa realisme lebih tepat menjelaskan peradilan (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 113). Positivisme hukum selanjutnya memunculkan analytical legal positivism, analytical jurisprudence, pragmatic positivism, dan Kelsen’s pure theory of law. (Arif Sidharta, 1994:51).
Sementara ahli hukum seperti Anthony J. Sebok justru memperlihatkan turunan positivisme ke formalisme. Ia mengatakan bahwa formalisme Amerika Serikat adalah positivisme Inggris dengan beberapa alasan yaitu keduanya memiliki pandangan yang sama mengenai hakim dan penghakiman, hal itu dapat dilihat bahwa positivisme memandang hukum sebagai sistem yang lengkap dan tertutup. Hukum dianggap terpisah dari moral dan hukum adalah sistem norma yang otoritatif, dimana hakim dan ahli hukum hanya dianggap sebagai corong semata dari undang-undang (Muji Kartika Rahayu, 2018:112).


Jika kita merunut lebih jauh ke belakang, akar terjauh perdebatan tentang formalisme dengan realisme dalam praktik hukum dapat dilihat pada bagaimana Plato dan Aristoteles mendefinisikan hakim. Bagi Plato, figur hakim yang terhormat adalah orang yang bijaksana, tumbuh dalam lingkungan yang adil sehingga tidak memiliki pengalaman dan pengaruh untuk melakukan perbuatan yang tidak adil. Ketika muda, hakim itu bersifat naif sehingga mudah ditipu oleh orang yang tidak adil, karena hakim tidak memiliki figur dalam dirinya tentang perilaku buruk. Dia sudah terbiasa memutuskan hal-hal yang adil melalui cara yang adil dan di dalam lingkungan yang adil pula. Maka hakim janganlah dari orang muda, dia haruslah dari orang yang sudah berpengalaman - sudah terbiasa melihat ketidakadlian sehingga memahaminya dengan baik dan merasakan ketidaknyamanannya. Hakim haruslah terlatih bertahun-tahun untuk memahami ketidakadilan melalui pengetahuan teoritis. Sementara Aristoteles menganggap hakim adalah personifikasi dari keadilan sendiri yang bertugas memberi keadilan dan kebenaran bagi pihak yang bersengketa. Hakim haruslah memutus berdasarkan fakta dan boleh memutus diluar undang-undang, serta tidak boleh dipengaruhi oleh emosi dalam memutuskan perkara. Dengan demikian, dapatlah kita lihat dengan jelas akar perdebatan formalisme dan realisme dalam praktik hukum. Corak pemikiran Plato adalah akar dari formalisme hukum yang mengandaikan hakim sebagai person yang berpikir naif dan memahami keadilan terbatas pada pengetahuan teoritis, sedangkan corak pemikiran Aristoteles adalah akar dari realisme hukum yang mengandaikan hakim sebagai perwujudan dari keadilan itu sendiri. Hakim bahkan boleh melanggar undang-undang untuk memutus perkara berdasarkan fakta. (Muji Kartika Rahayu, 2018:42-43).


Perdebatan formalisme dan realisme dalam praktik hukum menjadi sangat sengit pada abad 20, utamanya di Amerika. Formalisme hukum dipahami sebagai sistem tertutup dan logis, maka hakim tidak diperkenankan memutus perkara di luar undang-undang dan hanya diperkanankan menerapkan hukum yang ada. Peradilan berfungsi sangat terbatas pada upaya menemukan hukum yang benar bukan mengubah keadaan melalui hukum. Berbeda dengan kamu realis, utamanya didukung oleh orang-orang muda dengan pemikiran lebih progresif, mendeklarasikan diri sebagai pembaharu hukum bahkan dengan slogan yang lebih revolusioner lagi bahwa hukum haruslah melayani tujuan sosial, maka hakim boleh keluar dari koridor undang-undang untuk memutus perkara demi mencapai keadilan sesuai fakta sosial.


Letak perbedaan pokok antara formalisme dan realisme dalam praktik hukum adalah pada raison d'etre  hakim. Pertentangan itu adalah sangat mendasar sehingga tidak dapat dinegosiasikan (Muji Kartika Rahayu, 2018:170) dan telah menjadi karakter penalaran hukum masing-masing aliran. Kaum formalis mengharapkan bahwa tugas mulia hakim adalah melaksanakan secara konsekuen peraturan positif dalam pertimbangan (legal reasoning) putusannya, sementara di pihak realis justru mengharapkan tugas mulia hakim adalah membuat hukum  dalam pertimbangan hukumnya.


Lebih lanjut perdebatan itu diperjelas bahwa kaum formalis mengharapkan hakim sekedar sebagai pelaksana undang-undang, tidak lebih dari itu. Dalam melakukan penalaran hukum, hakim haruslah menalar hukum secara murni dan menerapkan logika silogisme serta menggunakan aturan sebagai satu-satunya dasar untuk menganalisa kasus. Sedangkan kaum realis justru mengharapkan hakim mempertimbangkan faktor non-hukum dan membaca undang-undang secara lebih kritis guna melihat lebih luas tujuan undang-undang serta mendudukkan hukum tidak terpisah dari ilmu lain dan gejala sosial dalam masyarakat.


Lalu bagaimana hakim harus memberi pertimbangan hukum atas suatu kasus dalam bentuk rumusan putusan telah memunculkan aspek epistemologis dan ontologis yaitu bagaimana melihat hukum sebagai logika, hukum sebagai aturan, hukum sebagai institusi sosial, dan hukum sebagai ilmu pengetahuan (Muji Kartika Rahayu, 2018:170).  Ini tentu saja menjadi problem serius bukan hanya di ruang akademis tetapi dalam praktik hukum yang akan memutus tindakan mana yang dapat dibenarkan dan tindakan mana yang dianggap salah.


Oleh karena itu, formalisme hukum hanya akan dianggap memiliki satu kelebihan, dengan banyak kelemahan. Kelebihannya adalah adanya jaminan kepastian hukum dan masyarakat dengan mudah mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.  Aparat penegak hukum akan bertindak dengan tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga tugas hakim relatif lebih mudah, karena tidak perlu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran dalam fenomena sosial.  Hakim hanya sekedar menerapkan ketentuan undang-undang terhadap kasus konkrit.

Kelemahan-kelamahan itu sebagaimana telah diidentifkasi oleh Johni Najwan dalam Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, bahwa hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan melanggengkan kekuasaannya, sehingga tidak jarang terjadi hukum yang semestinya menjamin perlindungan bagi masyarakat, malah menindas rakyat. Selain itu, undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman, seperti diketahui, perkembangan masyarakat itu berjalan cukup cepat dan kadang-kadang tidak dapat diduga sebelumnya, sehingga undang-undang sering tidak mampu mengikuti perkembangan yang pesat tersebut , serta ada kondisi dimana undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu mengakomodasi semua persoalan sosial kemasyarakatan.


Tindakan mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, maka positivisme yang dianut oleh formalisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being). b. Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). c. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang- undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis. d. Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas. e. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian (W. Friedmann, 1996:148).


Sementara positivisme yang dianut kaum realis juga bukan tanpa bahaya, karena bisa saja hakim akan memutus sengketa berdasarkan kecenderungan politiknya. Penafasiran dalam argumentasi hukumnya akan diarahkan untuk mendukung putusannya di luar hukum. Dengan demikian tidak berlebihan jika perlu pembatasan yang pasti bagi hakim dalam melakukan penafsiran secara terbatas.

Daftar Pustaka:


Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Dudau, Radu. 2022. The Realism/Antirealism Debate in the Philosophy of Science. Berlin: Logos Verlag.

Dilworth, Craig. 2007. The Metaphysics of Science: An Account of Modern Science in Terms of Principles, Laws and Theories. Dordrecht: Springer.

Laudan, Larry “A Confutation of Convergent Realism” in Curd & Cover (2002), hal. 1108-1128.

Najwan, Johni. Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum

Rahayu, Muji Kartika. 2018. Sengketa Mazhab Hukum: Sintesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum. Jakarta: PT Gramedia

Saatsi, Juha T. “On the Pessimistic Meta- Induction and two Fallacies,” in Curd & Cover (2002), hal. 1129-1139.

Shidharta, Arief. 1994. Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

W. Friedmann. 1996. Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun