Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perdebatan Formalisme Hukum dengan Realisme Hukum dalam Praktik: Warisan Perdebatan Abadi Realisme dengan Empirisisme

4 Februari 2024   05:05 Diperbarui: 4 Februari 2024   06:18 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Secara etimologi, empirisme dalam bahasa Yunani: empiria, empiros, dalam bahasa Latin: experiential berarti pengalaman. Pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan dalam empirisme. 

Jika dirunut lebih jauh ke belakang, maka umumnya Aristoteles cenderung empiris sementara Plato rasionalis (Lorens Bagus, 2005:197-198). Empirisme sebagai metode berpikir kemudian dijumpai pada David Hume yang dipertentangkan dengan rasionalisme Descartes. 

Empirisme dalam filsafat ilmu adalah pandangan bahwa penyelidikan ilmiah terbatas pada fenomena dan hubungan formalnya (Craig Dilworth, 2007:9). Sementara realisme berasal dari bahasa Latin: res, dan bahasa Inggris: realism, berarti hal, benda atau barang. 

Realisme diartikan sebagai upaya melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi atau idolisasi, cenderung menerima fakta apa adanya (Lorens Bagus, 2005:934). Realisme dalam filsafat ilmu adalah pandangan bahwa tugas sains juga menyelidiki penyebab fenomena dan hubungan-hubungannya yang berasal dari dunia nyata (Craig Dilworth, 2007:9).

Ringkasnya, perdebatan antara realisme dengan empirisisme dalam filsafat ilmu terletak pada problem epistemologi dan ontologi: status serta relasi teori dan dunia eksternal, tugas sains, prinsip kausalitas, kebenaran, dan status independensi eksistensi dunia objektif. 

Dilworth membatasi empirisisme pada investigasi saintifik terhadap fenomena dan relasi formalnya. Sementara realisme saintifik membenarkan bahwa gambaran teori ekuivalen dengan gambaran realitas oleh karena itu dunia eksternal eksis dan sains bertugas menjelaskan relasi penyebaban di dalamnya. Menjelaskan penyebab tidak mungkin bagi empirisisme, juga dunia objektif hanya dapat digambarkan sebagai fenomena, bahkan tergantung pengamat.

Akar Perdebatan Empirisme dan Realisme

Bagi Auguste Comte, studi tentang alam terbatas pada analisa fenomena untuk menemukan hukum-hukumnya, yaitu hubungan konstan dari urutan atau kemiripan yang tidak ada hubungannya dengan penjelasan kausalitas. Hipotesis tidak mungkin untuk entitas yang tak terakses. William Whewell menganggap gaya dalam fisika adalah spesifikasi empiris dari sebab akibat yang lebih umum sehingga tidak ada yang bisa terjadi tanpa suatu sebab. Keengganan Comte untuk masuk pada bagian dari mana fenomena dihasilkan menurut Whewell justru menyebabkan Comte keliru menafsirkan fenomena. Keengganan Comte mengajukan hipotesis pada sebab justru menjadi pintu masuk perdebatan abadi empirisisme dan realisme. J. S. Mill bahkan menilai tidak ada bedanya antara fenomena dan kausalitas. Hukum alam identik dengan relasi sebab akibat dalam alam. Mengikuti David Hume, Mill mengaggap penyebab semata-mata relasi fenomena yang sukses terjadi. Ernst Mach mengatakan sesuatu yang tidak dapat diketahui, yang terletak di balik sensasi, adalah perhatian metafisika. Padahal, realitas itu sebenarnya tidak melampaui apa yang bisa diketahui, semua yang bisa diketahui adalah sensasi dalam hubungan-hubungannya. Mach menilai dunia semata-mata kumpulan sensasi pengamat dan relasi matematis. Kausalitas hanyalah hubungan antar fakta yang hanya terdiri dari akumulasi sensasi. Pandangan Mach dikritik sebagai solipsisme. Seperti Berkley, Mach menganggap dunia hanya perluasan dari ego.


Ludwig Boltzmann melawan pandangan Mach, menganggap dunia di luar ego itu ada, dunia objetkif independen dari subjek. Entitas teoretis yang sulit dipersepsi seperti atom pastilah ada. Boltzmann juga menyarankan sains untuk tidak perlu menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya tujuan, saintis diminta untuk melampaui pengalaman dalam pertimbangannya untuk mengakui yang tidak pasti, berteori tentang realitas sambil mengakui sifat tentatif dari sesuatu. Henri Poincaré, seorang fenomenalis ketat membantah Boltzmann dengan mengatakan pencarian kebenaran harus menjadi tujuan satu-satunya dari sains. Poincaré sebenarnya ramah terhadap dunia eksternal dengan mengakui independensinya meskipun tidak dapat diakses. Realitas eksternal tersebut adalah realitas yang terjelaskan secara matematis, dan merupakan satu-satunya kebenaran. Ia juga membedakan maksim metafisis yang merupakan prinsip umum, hukum fenomena sebagai generalisasi real, dan teori kausal sebagai data yang tak dapat ditentukan. Teori kausal berguna sebagai kalkulasi. Ia menekankan pengaksesan dunia secara eksperimental, dinilai Dilworth sebagai instrumentalisme.


Pierre Duhem, memandang relasi teori dan realitas secara berbeda, bahwa teori adalah suatu model hukum dari realitas non-fenomena, untuk kepuasan imaginasi bukan rasio. Ia mengklasifikasikan teori sebagai explanatory theories mencakup penjelasan fenomena sebab akibat dan representational theories, sistematisasi hukum-hukum eksperimental. Duhem menekankan kriteria satu-satunya kebenaran fisika adalah eksperimen. Realitas non-fenomena diakui dengan jalan asumsi demi melindungi fenomena.

Pandangan serupa juga diajukan oleh N. R. Campbell, meyakini bahwa harusnya ada persesuaian universal antar hukum yang mendefinisikan realitas. Tetapi lebih jauh lagi, bahwa sasaran sains bukan hanya kebenaran, tetapi juga makna atau hal yang berkaitan dengan kepuasan intelektual. Hukum berurusan dengan kebenaran, teori dengan makna. Mengkritik konsep kausalitas Hume sebagai urutan peristiwa, Cambell mengaggap belum tentu fakta yang berurutan dan mendahuluinya adalah sudah pasti sebuah sebab.
Lingkaran Wina yang meneruskan logika postivisme Comte justru menilai perdebatan ini sepenuhnya permasalahan fenomena linguistik. Hal senada dilontarkan Hempel, menganggap penyebab sebatas keteraturan empiris, di mana keteraturan tersebut diatur dalam logika bahasa yang silogistik. Sains berurusan dengan data yang kompatibel dengan pengalaman. Rom Harré menilai sains berurusan dengan penjelasan mengapa dan dengan cara apa pola non-acak alam muncul. Prediksi berbeda dengan penjelasan karena penjelasan disertai kausalitas yang merupakan sekumpulan mekanisme sebagai model hipotetis yang identik dengan realitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun