Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perdebatan Formalisme Hukum dengan Realisme Hukum dalam Praktik: Warisan Perdebatan Abadi Realisme dengan Empirisisme

4 Februari 2024   05:05 Diperbarui: 4 Februari 2024   06:18 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Letak perbedaan pokok antara formalisme dan realisme dalam praktik hukum adalah pada raison d'etre  hakim. Pertentangan itu adalah sangat mendasar sehingga tidak dapat dinegosiasikan (Muji Kartika Rahayu, 2018:170) dan telah menjadi karakter penalaran hukum masing-masing aliran. Kaum formalis mengharapkan bahwa tugas mulia hakim adalah melaksanakan secara konsekuen peraturan positif dalam pertimbangan (legal reasoning) putusannya, sementara di pihak realis justru mengharapkan tugas mulia hakim adalah membuat hukum  dalam pertimbangan hukumnya.


Lebih lanjut perdebatan itu diperjelas bahwa kaum formalis mengharapkan hakim sekedar sebagai pelaksana undang-undang, tidak lebih dari itu. Dalam melakukan penalaran hukum, hakim haruslah menalar hukum secara murni dan menerapkan logika silogisme serta menggunakan aturan sebagai satu-satunya dasar untuk menganalisa kasus. Sedangkan kaum realis justru mengharapkan hakim mempertimbangkan faktor non-hukum dan membaca undang-undang secara lebih kritis guna melihat lebih luas tujuan undang-undang serta mendudukkan hukum tidak terpisah dari ilmu lain dan gejala sosial dalam masyarakat.


Lalu bagaimana hakim harus memberi pertimbangan hukum atas suatu kasus dalam bentuk rumusan putusan telah memunculkan aspek epistemologis dan ontologis yaitu bagaimana melihat hukum sebagai logika, hukum sebagai aturan, hukum sebagai institusi sosial, dan hukum sebagai ilmu pengetahuan (Muji Kartika Rahayu, 2018:170).  Ini tentu saja menjadi problem serius bukan hanya di ruang akademis tetapi dalam praktik hukum yang akan memutus tindakan mana yang dapat dibenarkan dan tindakan mana yang dianggap salah.


Oleh karena itu, formalisme hukum hanya akan dianggap memiliki satu kelebihan, dengan banyak kelemahan. Kelebihannya adalah adanya jaminan kepastian hukum dan masyarakat dengan mudah mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.  Aparat penegak hukum akan bertindak dengan tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga tugas hakim relatif lebih mudah, karena tidak perlu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran dalam fenomena sosial.  Hakim hanya sekedar menerapkan ketentuan undang-undang terhadap kasus konkrit.

Kelemahan-kelamahan itu sebagaimana telah diidentifkasi oleh Johni Najwan dalam Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, bahwa hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan melanggengkan kekuasaannya, sehingga tidak jarang terjadi hukum yang semestinya menjamin perlindungan bagi masyarakat, malah menindas rakyat. Selain itu, undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman, seperti diketahui, perkembangan masyarakat itu berjalan cukup cepat dan kadang-kadang tidak dapat diduga sebelumnya, sehingga undang-undang sering tidak mampu mengikuti perkembangan yang pesat tersebut , serta ada kondisi dimana undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu mengakomodasi semua persoalan sosial kemasyarakatan.


Tindakan mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, maka positivisme yang dianut oleh formalisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being). b. Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). c. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang- undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis. d. Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas. e. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian (W. Friedmann, 1996:148).


Sementara positivisme yang dianut kaum realis juga bukan tanpa bahaya, karena bisa saja hakim akan memutus sengketa berdasarkan kecenderungan politiknya. Penafasiran dalam argumentasi hukumnya akan diarahkan untuk mendukung putusannya di luar hukum. Dengan demikian tidak berlebihan jika perlu pembatasan yang pasti bagi hakim dalam melakukan penafsiran secara terbatas.

Daftar Pustaka:


Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Dudau, Radu. 2022. The Realism/Antirealism Debate in the Philosophy of Science. Berlin: Logos Verlag.

Dilworth, Craig. 2007. The Metaphysics of Science: An Account of Modern Science in Terms of Principles, Laws and Theories. Dordrecht: Springer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun