Dalam zaman modern ini, Jakarta telah menjadi perwujudan sempurna dari kata metropolitan. Namun di balik banyaknya lampu-lampu silau dan kehidupan kota yang berjalan dengan cepat, terdapat sebuah masalah besar. Jakarta merupakan salah satu dari banyak kota di sekeliling dunia yang secara perlahan-lahan tenggelam akibat kenaikan air laut yang terjadi dengan sangat pesat.Â
Menurut sebuah penelitian dari Universitas IPB, tanah di Jakarta mengalami penurunun sekitar 1.8cm sampai 10.7cm dalam periode waktu 2019 sampai 2020. Ditambah dengan penelitian baru Badan Riset dan Inovasi Nasional yang memprediksi bahwa seperempat dari kota Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050, dapat dilihat bahwa tenggelamnya ibukota menjadi sebuah isu yang harus cepat ditangani.
Masalah tenggelamnya Jakarta disebabkan oleh campuran ulah manusia dan juga perubahan iklim. Air tanah merupakan sumber utama air bersih untuk mayoritas dari rakyat Jakarta karena sistem pompa air tidak tersedia bagi semua orang.Â
Menurut data dari PAM Jaya mengenai layanan air bersih, hanya sekitar 3,4 juta orang yang tersambung ke jaringan pipa PDAM. Ditambah dengan kurangnya akses terhadap jaringan air bersih, Jakarta juga tidak memiliki sumber-sumber air bersih selain Sungai Krukut. Kedua hal ini menyebabkan sebagian besar dari warga Jakarta untuk mengandalkan air tanah untuk memiliki sebagai sumber air bersih mereka.Â
Menurut Aetra (2016), air tanah merupakan bagian air yang berada di akuifer, lapisan yang ada di bawah permukaan tanah. Untuk memperoleh air tanah ini, rakyat Jakarta membuat sumur-sumur yang akan mengambil air dari lapisan akuifer.Â
Proses ini dapat dilakukan secara berulang kali karena air di lapisan akuifer tersebut akan terisi ulang secara alami oleh hujan. Namun proses isi ulang ini tidak dapat berjalan dengan lancar di Jakarta karena kota Jakarta tertutup oleh beton dan aspal yang mempersulit proses reabsorpsi air. Akibatnya, tanah yang awalnya penuh air menurun tingginya dan secara perlahan-lahan kota Jakarta akan tenggelam.
Permukaan laut juga menjadi sebuah faktor terhadap tenggelamnya Jakarta. Peneliti IPCC memproyeksikan air laut untuk meningkat dengan lebih cepat dan memprediksi bahwa permukaan laut rata-rata akan menambah setidaknya 0.48m.Â
Menyalahkan satu orang atau negara atas meningkatnya air laut merupakan sebuah kegiatan yang tiada artinya karena meningkatnya air laut terdorong oleh ulah manusia di seluruh bumi secara keseluruhan.Â
Peningkatan air laut merupakan salah satu dampak dari fenomena perubahan iklim dan oleh sebab itu tidak dapat dilawan atau dicegah dengan cara apapun karena sudah berjalan dari awal revolusi industri yang terjadi 200 tahun yang lalu.Â
Menurut penelitian International Panel for Climate Change, permukaan air laut sudah meningkat 3.6mm setiap tahunnya dalam periode waktu 2005 sampai 2015.
Tenggelamnya Jakarta akan menjadi sebuah masalah besar bagi negara Indonesia karena peran Jakarta dalam bidang ekonomi. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan produk domestik bruto paling tinggi dengan angka 3 triliun rupiah.Â
Eksodus massal yang disebabkan oleh tenggelamnya Jakarta akan menyebabkan banyak kegiatan ekonomi akan berhenti sehingga paling sedikitnya terdapat 860 ribu pekerja kehilangan pekerjaan mereka. Tenggelamnya Jakarta bagian utara juga akan menyebabkan berhentinya operasi pelabuhan Tanjung Priok sehingga kegiatan ekonomi maritim akan berhenti.Â
Selain menjadi sebuah distrik ekonomi terbesar Indonesia, Jakarta juga merupakan kota dengan konsentrasi penduduk yang tinggi. Dengan populasi sebesar 10 juta orang, Jakarta menjadi salah satu kota terbesar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia.Â
Dengan mengikuti estimasi penelitian BRIN, dapat diasumsi bahwa bagian utara Jakarta akan terkena dampak yang paling besar dengan kemungkinan sekitar 2 juta orang terpaksa untuk berpindah dan mencari tempat tinggal baru.
Ancaman tenggelamnya kota Jakarta terhadap Indonesia tentu saja bukan main, tetapi proses tenggelam ini tidak dapat dicegah atau dihentikan. Dalam menghadapi masalah ini, pemerintah hanya dapat memperlambat atau bertindak secepat mungkin ini menggantikan peran Jakarta.Â
Dengan menyadari kedua hal ini, pemerintah dapat memfokuskan upaya mereka terhadap solusi yang dapat menyelesaikan masalah dan tidak hanya membuang anggaran yang disediakan.Â
Solusi pertama yang dapat diambil adalah untuk membataskan pembuatan sumur. Pembuatan sumur untuk mengekstraksi air tanah merupakan salah satu penyebab mengeringnya lapisan akuifer.Â
Pada saat ini, DKI Jakarta memiliki sekitar 4700 sumur yang digunakan oleh masyarakat. Dengan membatasi pembuatan sumur untuk ekstraksi air tanah, maka proses tenggelamnya kota Jakarta dapat diperlambat secara signifikan. Untuk merealisasi konsep ini, dapat dirancang sebuah hukum untuk membatasi jumlah sumur yang dibuat oleh rakyat.Â
Contoh hukum yang meregulasi air tanah yang dapat digunakan sebagai referensi adalah "Groundwater Protection Law" yang digunakan oleh negara Kanada, tepatnya di negara bagian British Columbia.
Selain sumur, faktor lain yang harus diperhitungkan dalam masalah ini merupakan akses pipa PDAM yang masih belum tersedia bagi sebagian besar dari rakyat Jakarta. Masalah ini disebabkan oleh tingginya harga air PDAM yang membuat orang memilih sumber air alternatif.Â
Menurut data PAM Jaya, penduduk Jakarta mengkonsumsi sekitar 150 liter per orang setiap harinya. Bila dimasukkan ke dalam formula 150 30,4 hari Rp5,500 3,8 orang, maka akan didapatkan bahwa golongan rumah tangga sederhana harus membayar Rp95,304.Â
Dengan menurunkan harga air untuk golongan ini maka PDAM akan menarik lebih banyak pengguna dan akibatnya akan mengurangi jumlah sumur air tanah. Kedua solusi yang sudah disebutkan merupakan solusi dengan tujuan untuk memperlambat tenggelamnya Jakarta. Namun seperti yang sudah diketahui, naiknya air laut merupakan sebuah hal yang tidak dapat dihentikan. Jadi, solusi ketiga ini lebih sebagai pencegahan dini dari dampak tenggelamnya Jakarta.Â
Dengan memindahkan ibukota dan menggeser pusat ekonomi negara, maka tenggelamnya Jakarta tidak akan menjadi sebuah hal yang terlalu signifikan di masa depan.Â
Solusi ini sudah dipertimbangkan oleh pemerintah dan bahkan rencana untuk membuat ibukota baru di Kalimantan Timur. Tetapi, membuat ibukota baru merupakan sebuah proses yang memakan dana yang sangat banyak dan di masa-masa sulit seperti ini, dana tersebut lebih baik digunakan untuk biaya infrastruktur lainnya.
Lokasi yang lebih logis merupakan kota yang sudah maju dalam bidang infrastruktur ataupun ekonomi seperti Yogyakarta. Dengan memindahkan pusat ekonomi dan administrasi, maka dampak terhadap negara di kedepannya tidak akan sebesar yang diperkirakan.Â
Masa depan yang suram bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan harus diterima dan diatasi masalah yang datang. Memang tenggelamnya Jakarta merupakan sebuah peristiwa di masa depan yang tidak dapat dihindarkan dan menjadi sebuah musibah yang membahayakan situasi ekonomi negara sekaligus memaksa banyak penduduk Jakarta untuk mengungsi.Â
Meskipun itu, pemerintah harus tetap mengambil langkah-langkah untuk memperlambat tenggelamnya ibukota agar dampak dari bencana tersebut tidak akan berdampak sebesar yang diprediksikan pada saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H