Aku jarang main dengan teman-teman sebayaku. Beberapa temanku yang bernasib sama denganku, memang jadi jarang bergaul. Telinga kami, sudah sangat akrab dengan ejekan seperti, "Kasihan deh, ibunya kabur atau ibunya mau cari uang sebesar pintu, yah."
Diperlakukan begitu, aku hanya bisa diam, diam, dan diam. Tanpa setahu Bapak, aku sering menangis sendirian. Kalau sudah begitu, kerinduan pada Ibu semakin menggunung. Â Kerinduan pada Ibu semakin menggebu. Tapi apalah daya, waktu itu, aku hanya seorang anak kecil yang tak tahu harus berbuat apa selain diam. Diam menjadi teman akrab dalam keseharianku.
***
Hingga suatu hari, setibanya pulang dari sekolah, aku mendapati Bapak sedang berbicara melalui telepon selularnya Bi Dian. Bi Dian memberi tahuku bahwa Bapak sedang berbicara dengan Ibu. Aku kaget sekaligus bahagia mendengar kabar itu. Ibu sudah pergi hampir enam bulan, tapi baru memberi tahu kabarnya sekarang.Â
"Ah Ibu, aku rindu. Sangaaattt rindu."
Aku menghampiri Bapak. Bapak menoleh. Kulihat Bapak terisak namun senyum bahagia tampak di wajahya. Bapak merangkulku dan memberikan telepon selular itu padaku.
Aku sangat bahagia bisa berbicara lagi dengan Ibu walaupun melalui telepon.
Ibu menasihatiku tentang banyak hal. Tentang ibadah yang benar, belajar yang rajin, sayang sama adik, hormat sama Ibu-Bapak, Paman Arya-Bi Dian, harus tangguh, dan kuat sebagai anak laki-laki. Yang membuatku bahagia, Ibu menyampaikan padaku kapan Ibu akan pulang.
"Waaahhh, aku senang Ibu akan pulang walaupun masih lama. Â Entah setahun, dua tahun, tiga tahun, ah ... entahlah. Yang penting bagiku, Ibu di sana selalu sehat."
***
Hari berganti, tahun pun kulewati, rindu pada Ibu selalu kusisipkan dalam doaku. Aku mulai membiasakan diri hidup hanya  dengan Bapak, Seni, Bi Dian, dan Paman Arya. Karena hanya merekalah yang selalu ada di sisiku setiap saat.Â