Mohon tunggu...
Siti Kurniati
Siti Kurniati Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

menulis, merupakan generasi qurani

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu Sedi

29 Mei 2018   08:15 Diperbarui: 29 Mei 2018   10:00 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami semua masuk ke mobil Pak RT. Dalam perjalanan, semua diam membisu. Suasana hening. Paman Arya  mengemudikan mobil dengan tenang.

Tiba di sebuah gedung, semua penumpang turun. Dua koper besar pun diturunkan. Ibu menggandengku. Air matanya masih terlihat mengambang. Isaknya juga masih lirih terdengar. Aku ingin menjerit melihat Ibu seperti itu. Lagi-lagi aku tak mampu mengeluarkan sebuah pertanyaan pada Ibu. Kerongkonganku kering. Tercekat.

Ibu masuk ke gedung itu diantar Bapak. Yang lain tidak boleh masuk. Ibu kembali memeluk aku dan adikku. Juga Bi Dian dan Paman Arya. Yang lain disalaminya. Seni meronta ingin bersama Ibu. Pemandangan inilah yang membuat kami terguguk.

"Hati-hati, Bu. Jaga kesehatan. Kalau sudah sampai, cepat hubungi Bapak," ucap Bapak lirih. Ibu mengangguk tanpa berkata-kata dan melambaikan tangannya pada kami. Setelah itu,  Ibu masuk ke gedung tanpa menoleh lagi pada kami.

***

Setelah kepergian Ibu malam itu, barulah Bapak bercerita padaku bahwa Ibu pergi untuk bekerja. Hanya tempatnya yang sangat jauh. Dan, dari Bapak pula aku tahu kalau Ibu pergi ke negeri orang, Arab Saudi. Ibu menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita.

Aku hanya bisa diam mendengar penjelasan Bapak. Aku sedih mendengar ini. "Berarti, Ibu akan lama pulangnya. Berarti, kepergian Ibu sama dengan kepergian Ibunya Ahmad, Ratih, Anisa, dan Ridwan donk! Berarti aku akan lama tak ketemu Ibu. Berarti ... berarti ...," batinku menjerit mendengar penjelasan Bapak. Sudah sering aku mendengar istilah ini. Karena beberapa teman mainku, Ibunya kerja ke sana. Dan bertahun-tahun nggak pulang.

"Maafkan Bapak, Di. Ini semua salah Bapak. Bapak nggak mampu mencari pekerjaan lagi setelah Bapak dikeluarkan dari pabrik. Bapak cuma bisa kayak sekarang," ucap Bapak pelan. Nah, makanya kamu sekolah yang rajin, ibadah yang benar, biar Ibu kerjanya tenang, Bapak juga kalau ngojek banyak penumpangnya, yah," lanjutnya lagi. Aku mengangguk. Sedih.

Lama-lama, aku pun terbiasa dengan keadaan ini. Di rumah seringkali aku hanya berdua saja dengan Bapak. Seni, sering tinggal dan menginap di rumah Paman Arya dan Bi Dian karena kebetulan mereka  belum memiliki anak.

Bila Bapak pergi mengojek sampai malam, sepulang sekolah aku pun pulang ke rumah Bi Dian yang tak jauh dari rumahku. 

Begitulah keseharianku. Pergi ke sekolah, pulang ke rumah Bi Dian, malamnya dijemput Bapak, besoknya seperti itu lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun