"Ayo Sedi. Tenang saja," suara bijaknya cukup membuat Sedi tenang.
Awal menyampaikan cerita, Sedi terlihat gugup. Kalimat demi kalimat yang diucapkannya sudah terdengar terbata-bata. Namun, dia  berusaha untuk menyampaikan cerita yang sudah lama dia simpan sendiri.
"Kisah ini terjadi 8 tahun yang lalu. Saat itu saya masih kelas 4 SD. Sedi terdiam. Tenggorokannya tercekat. Teman-temannya menyemangati, "Sedi oh Sedi ayolah engkau semangat."Â
Sedi tersenyum getir.Â
"Larut malam, aku dibangunkan Bapak. "Pakailah jaket ini. Kita mau pergi antar Ibu," bisik Bapak. "Kemana, Pak?" tanyaku. Bapak tak menjawab hanya menuntunku keluar kamar sambil menggendong Seni, adikku yang masih tertidur pulas. Aku menurut saja.
Kami bertiga menuju ruang tamu. Di sana sudah berkumpul Ibu, Paman Arya, Bi Dian, Pak RT, Pak Rizal, dan  beberapa orang tetanggaku.
Ibu menyambutku lalu memelukku. Ibu menangis. "Maafkan Ibu. Doakan Ibu selamat ya," ucap Ibu sambil terisak. Aku menatap Ibu dengan pandangan kosong. "Ada apa ini? Kenapa Ibu nangis?" hatiku bertanya-tanya. Aku hanya mengangguk. Ibu memelukku sangat erat. Saat itu, aku tak paham apa yang terjadi. Ku lihat Bapak pun diam. Ibu yang masih memelukku, meraih adikku. Lalu, mencium kami seraya berkata lagi, "Sekolah yang rajin, ibadah jangan ditinggalkan ya. Jaga adik Seni. Nurut sama Bapak, Paman Arya dan Bi Dian. Ibu nggak akan lama. Ibu pasti pulang. Ibu sayang kalian."
Ibu terguguk di pelukan Bapak. Aku dan Seni dipeluk oleh Bi Dian. Paman Arya dibantu beberapa tetangga bergegas menjinjing dua buah koper besar ke luar dan merapikannya ke dalam mobil Pak RT.Â
Hatiku tetap bertanya, Ibu mau kemana, tapi rasa takut mengalahkan keherananku karena Bapak dan Ibu masih menangis. Â Begitu juga Bi Dian yang sambil menggendong adikku, bahunya tak berhenti berguncang.Â
Lidahku kelu. Aku ingin berlari ke pelukan Ibu, tapi entah kenapa, kakiku berat untuk melangkah. Seni yang baru berusia 2 tahun, ikut-ikutan menangis entah kenapa juga.
"Semua sudah siap, Pak! Mari kita berangkat," kata Pak RT.Â