Mohon tunggu...
Ni Putu Novi Ardiyani
Ni Putu Novi Ardiyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Pendidikan Ganesha

saya seorang mahasiswa program studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Ganesha dan hobi saya memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Banten dalam Tradisi Umat Hindu di Bali

10 Juli 2024   15:32 Diperbarui: 10 Juli 2024   15:34 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelebihan dan Makna Banten dalam Tradisi Agama Hindu di Bali

Pulau Bali, yang sering disebut sebagai pulau dewata, yang merupakan tempat tinggal bagi sebagian besar penduduk Hindu di Indonesia dan terkenal dengan budayanya yang kaya serta keindahan alamnya. Meskipun ideologi negara India telah memengaruhi kepercayaan teologis Hindu Bali, dasar dari berbagai upacara di Bali dan India adalah animisme, dinamisme, dan realisme. Salah satu kepercayaan utama dalam umat Hindu di Bali adalah bahwa semua jenis ritus Hindu, termasuk Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya, menggunakan alat upacara yaitu upakara yang sama.

Upakara adalah istilah lain yang sering digunakan untuk merujuk pada fasilitas upacara. Banyak orang menyebut praktik atau ritual yang digunakan untuk memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa atau untuk upacara tertentu sebagai persembahan. Di India, fasilitas yang digunakan untuk upakara juga disebut wedya. Persembahan digunakan dalam agama Hindu. 

Dalam konteks ini, nama wedya juga muncul dalam kajian literatur agama Hindu di Bali, kedua kata tersebut, berarti persembahan, yang berasal dari tempat yang sama. Cara membuat upakara, yang juga dikenal sebagai persembahan, mencerminkan perwujudan dan ajaran dari klan Bhakti dan klan Karma. Secara etimologi, istilah "upakara" berasal dari kata "upa" yang artinya dekat, dan "kara" yang artinya tangan. Upakara memiliki arti sebagai persembahan suci yang dihasilkan dari kreativitas tangan, sehingga tidak mengherankan jika sesaji atau banten memiliki bentuk yang indah dan menarik. Inilah yang menyebabkan banten memerlukan usaha yang sungguh-sungguh agar menjadi sempurna sebelum dipersembahkan kepada para dewa.

Dalam agama Hindu, terutama di Bali, banten merupakan persembahan yang memiliki makna dan fungsi penting dalam praktik keagamaan. Kata "banten" berasal dari "bantena" yang berarti "persembahan" atau "hadiah". Banten adalah bentuk ritual yang berfungsi sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan dewa-dewi, leluhur, serta roh-roh alam. Melalui banten, umat Hindu dapat mengungkapkan rasa syukur, doa, permohonan, dan pengabdian mereka kepada kekuatan ilahi. Banten disiapkan dengan penuh perhatian dan keterampilan, menggunakan berbagai bahan alami seperti bunga, daun, buah-buahan, beras, dan kadang-kadang disertai makanan atau minuman tertentu. Setiap elemen dalam banten memiliki makna simbolis yang mendalam, mewakili berbagai aspek kehidupan dan alam semesta.

Di dalam Lontar Yajna Prakrti menyebutkan: "Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana". Ini berarti bahwa semua jenis banten (upakara) adalah simbol dari diri kita, representasi dari kekuasaan Sang Hyang Widhi, dan lambang dari alam semesta atau Bhuana Agung. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten juga disebutkan: "Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang". Ini berarti bahwa banten pada dasarnya adalah hasil dari pemikiran yang matang dan bersih.

Simbolisme dalam banten mencerminkan hubungan erat antara manusia, alam, dan Tuhan dalam tradisi Hindu Bali. Setiap elemen dalam banten dipilih dengan hati-hati dan memiliki makna spiritual yang mendalam, menggambarkan berbagai aspek kehidupan dan alam semesta. Melalui banten, umat Hindu dapat menyatakan rasa syukur, doa, dan pengabdian mereka, serta menjaga harmoni dan juga keseimbangan dalam kehidupan. Banten tidak hanya berfungsi sebagai persembahan, tetapi juga sebagai sarana komunikasi dan penghubung antara manusia dan Tuhan. 

Dalam pembuatan banten atau sesajen, biasanya terdapat tiga unsur utama. Unsur pertama adalah mataya, yaitu bahan banten yang berasal dari tumbuhan seperti daun, bunga, dan buah. Unsur kedua adalah maharya, yaitu bahan banten yang berasal dari hewan yang lahir, seperti babi dan kambing. Unsur ketiga adalah mantiga, yaitu bahan banten yang berasal dari hewan yang lahir dari telur, seperti ayam dan bebek. Unsur lainnya adalah Logam seperti perak, tembaga, besi, emas, dan timah.

Kemudian ada unsur Air yaitu Ada lima jenis cairan yang digunakan untuk banten, yang disebut Panca Amerta. Cairan tersebut adalah:

1. Air dari jasad atau sarira yang diwakili oleh susu (empehan).

2. Air dari buah-buahan yang diwakili oleh berem.

3. Air dari uap atau kukus yang diwakili oleh arak.

4. Air dari sari bunga yang diwakili oleh madu.

5. Air dari tanah atau bumi yang diwakili oleh air jernih atau hening.

Selain unsur air sarana upacara juga terdiri dari unsur Api dalam bentuk dupa. Dan tidak lepas dari unsur Angin dalam bentuk asap yang harum.

Dalam sebuah sarana upakara atau banten mempunyai beberapa fungsi yang menentukan tujuan pembuatan dan penggunaannya. Fungsi pertama dari banten adalah sebagai simbolisasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan semua manifestasinya, seperti dalam byakala yang melambangkan Dewa Brahma, durmenggala yang melambangkan Dewa Wisnu, dan prayascita yang melambangkan Dewa Siwa. 

Terutama, banten merupakan wujud rasa syukur umat Hindu atas pemberian kehidupan, anugerah, dan perlindungan pada alam semesta. Fungsi keduanya adalah sebagai upaya untuk menyeimbangkan alam semesta, seperti nyomia bhuta kala agar tidak mengganggu. 

Fungsi ketiga adalah sebagai persembahan, seperti banten gebogan, ajengan, atau tipat kelanan. Fungsi keempat adalah sebagai sarana permohonan, seperti sesayut tulus ayu, sida lungguh, anteng sakti, sida karya, sida purna, amerta dewa, dan lainnya. Fungsi kelima adalah sebagai sarana penyucian, seperti dalam banten byakala, durmanggala, prayascita, caru, dan segehan.

Selain memiliki fungsi, banten juga memiliki makna tertentu sebagaimana dijelaskan dalam lontar yadnya prakerti. Makna banten sebagai asta karaning yadnya adalah bahwa bebantenan merupakan simbol dari diri kita sendiri. Oleh karena itu, ada banten daksina, pejati, atau suci sebagai simbol kepala, jerimpen sebagai simbol tangan, banten pengambean sebagai simbol dada kiri, banten peras sebagai simbol dada kanan, sesayut sebagai simbol perut, dapetan sebagai simbol pusar, dan caru atau segehan sebagai simbol kaki.

Salah satu banten yang paling umum digunakan oleh umat Hindu di Bali adalah banten pejati. Pejati berasal dari kata 'jati' dalam bahasa Bali yang berarti sungguh-sungguh. Dengan awalan 'pa', kata 'jati' menjadi 'pejati', yang maknanya adalah ungkapan dari kesungguhan seseorang. Pejati digunakan sebagai cara untuk mengekspresikan kesungguhan hati kepada Sang Hyang Widhi dan manifestasinya saat hendak melakukan upacara tertentu, banten pejati termasuk dalam kategori banten pokok yang sering digunakan oleh umat Hindu di Bali dalam pelaksanaan Panca Yadnya. 

Contohnya, saat seseorang pertama kali memasuki pura dan bersembahyang, mereka biasanya menghaturkan banten pejati. Sama halnya ketika memohon bantuan dari pemangku atau sulinggih, atau untuk melengkapi upacara lainnya. Sebagian masyarakat Bali juga sering menyebut banten pejati sebagai "Banten Peras Daksina".

Selain itu jenis-jenis banten laiinya adalah:

  • Canang sari yang merupakan persembahan atau banten yang sangat lazim dalam praktik agama Hindu di Bali. Ini terdiri dari sebuah wadah kecil yang diisi dengan berbagai macam bahan seperti daun kelapa, bunga-bungaan, nasi, buah-buahan, dan kue-kue kecil. Canang sari umumnya digunakan untuk mebanten sehari-hari dirumah, atau tempat-tempat suci lainnya sebagai bentuk penghormatan kepada dewa-dewi dalam kepercayaan Hindu. Tindakan ini mencerminkan rasa syukur dan penghargaan atas berkah yang diterima dari dewa-dewi.
  • Banten sesajen merupakan persembahan banten yang lebih besar dan kompleks, biasanya terdiri dari berbagai jenis makanan, buah-buahan, kembang, dan perlengkapan lainnya yang diatur dengan indah di atas sebuah nampan atau wadah khusus. Banten sesajen ini biasanya disajikan dalam upacara-upacara besar seperti odalan, pernikahan, atau upacara keagamaan lainnya.
  • Banten gebogan adalah persembahan banten berbentuk tumpukan buah-buahan dan kembang yang dihias secara menarik. Banten ini terdiri dari beberapa tingkat yang diisi dengan berbagai macam buah-buahan seperti pisang, jeruk, nanas dan masih banyak lagi. Digunakan dalam upacara keagamaan dan sering sebagai hiasan dalam perayaan Hindu seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan.
  • Banten pajegan adalah banten yang dibuat untuk persembahan dalam bentuk patung miniatur dari bahan seperti nasi atau adonan tepung beras. Patung-patung ini dihias dengan daun-daunan, sayuran, dan rempah-rempah, biasanya digunakan dalam upacara kecil atau pemujaan pribadi di rumah.
  • Banten penjor adalah persembahan banten berbentuk tiang bambu yang dihiasi dengan dedaunan, kembang, dan hiasan lainnya. Biasanya ditemukan saat perayaan Hari Raya Galungan di Bali, dipasang di depan rumah sebagai simbol kesuburan dan keberuntungan.

Banten tidak hanya merupakan bentuk fisik dari persembahan, tetapi juga memiliki makna simbolis yang dalam. Setiap komponen yang digunakan dalam banten memiliki makna tersendiri: bunga melambangkan keindahan dan kesucian, buah-buahan melambangkan kelimpahan dan berkah, sedangkan makanan melambangkan rasa syukur dan kebersamaan. Lebih dari itu, banten juga mencerminkan kekreatifan seni dan keindahan dalam tradisi Hindu dalam penyajiannya. 

Melalui banten, umat Hindu dapat mengungkapkan penghormatannya dan rasa keterhubungan mereka dengan alam semesta serta dewa-dewa. Banten menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan dunia spiritual dan memperkuat ikatan spiritual antara umat Hindu dengan kehadiran yang lebih tinggi. Dalam setiap upacara keagamaan, banten memainkan peran penting dalam menciptakan suasana keramat dan menguatkan ikatan spiritual umat Hindu.

Dalam ajaran Hindu, banten bukan sekadar persembahan fisik tetapi juga mengandung makna dan filosofi mendalam. Mereka mengajarkan nilai-nilai seperti kesederhanaan, kerendahan hati, rasa syukur, dan kesadaran akan keberadaan yang lebih besar. Dengan penuh kesadaran dan bhakti, umat Hindu menyiapkan banten sebagai ekspresi spiritual mereka, mengingatkan mereka akan kehadiran yang lebih tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun