Mohon tunggu...
Ngainun Naim
Ngainun Naim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis buku JEJAK INTELEKTUAL TERSERAK (2023). Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Jawa Timur. Pengelola http://www.spirit-literasi.id. dan http://www.ngainun-naim.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Kisah Berburu Buku Para Penggila Buku

3 Januari 2023   21:05 Diperbarui: 9 Januari 2023   11:00 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Toko buku. (Sumber: @UniqueBooks via kompas.com) 

Tulisan ini semacam resensi buku. Buku yang saya bahas adalah sebuah buku menarik yang disunting oleh Bandung Mawardi. Judulnya cukup unik, Serbu! Pengisahan Belanja Buku, (Karanganyar: Bilik Literasi, 2017). 

Bukan buku baru karena terbitnya sudah 5 tahun lalu. Namun buku ini, sejauh subjektivitas saya, cukup penting. Buku ini tebalnya 120 halaman. Tidak terlalu tebal, meskipun juga tidak terlalu tipis.

Buku itu magnet. Ia menarik para pembaca dan penggilanya untuk memburu, membeli, dan membaca. Mungkin terdengar dan terlihat aneh, tapi itulah yang dilakukan oleh para penggila buku.

Zaman boleh berubah. Buku cetak semakin terpinggir dan berganti dengan buku elektronik. Namun penggila buku cetak selalu ada. Mereka tetap setia dengan buku cetak. Mereka mengisi hari-harinya dengan membaca buku cetak.

Bagi kelompok ini, hidup dan buku adalah dua hal yang tidak dipisahkan. Selama masih hidup, buku akan selalu menemani. Tanpa buku, hidup kurang sempurna.

Tentu beda bagi kelompok lain. Apa yang dilakukan oleh penggila buku akan dinilai sebagai hal aneh. 

Namun perlu dipahami bahwa kelompok inilah yang menjadi penentu dan penyangga peradaban. Mereka ini terus bergelut dengan buku, menggali ide, dan melakukan banyak hal baik bagi kemajuan kehidupan.

Buku bagus bagi mereka ini tidak selalu buku cetakan baru. Bisa jadi buku yang sudah lama. Isi buku tidak selalu berkaitan dengan terbitan baru. Bisa jadi terbitan lama tetapi mengandung makna.

Saya memiliki sebuah buku tipis berisi kisah perburuan buku anak-anak muda penggila buku asal Solo. Jumlah mereka sepuluh orang. 

Masing-masing berkisah tentang bagaimana mereka melakukan perjalanan nekat dari Solo ke Blok M Jakarta. Tujuan utamanya adalah belanja buku.

Mereka ini bukan orang yang kelebihan uang. Bahkan nyaris kurang. Namun mereka memiliki kelebihan energi untuk memburu buku.

Kejadian perburuan buku pada tahun 2016. Mungkin sudah cukup lama. Namun energi dan inspirasi yang mereka tulis masih relevan untuk konteks sekarang.

Penulis pertama bernama Mutimmatun Nadhifah. Ia menulis catatan dengan judul "Pada Suatu Hari, Sekardus Buku". Pada catatannya ia berkisah bagaimana ia begitu gelisah. 

Buku tersaji begitu menarik, sementara uang terbatas. "Menemukan buku-buku berkualitas tidak hanya memuat kebahagiaan tapi juga keresahan", tulisnya.

Mutimmatun merasa resah karena buku itu begitu menggoda, sementara uang yang tersedia belum tentu cukup. Wajar jika ia resah. 

Keresahannya semakin bertambah seiring teman-temannya yang mendapatkan buku yang dinilainya begitu menggiurkan. Di antara mereka saling intip.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

"Di tangan-tangan mereka, buku-buku juga agak sulit dibawa pulang, saat mata serius menghadapi setumpuk buku dan memilih, mereka masih misuhi harga buku", tulisnya dengan nada bangga namun gusar.

Perburuan ini menghasilkan jumlah buku yang cukup mencengangkan: tiga puluh buah. Buku yang membuatnya tidak lagi memiliki uang tersisa. 

Buku membuatnya bahagia dan lapar sekaligus. Ini sejalan dengan keteguhan prinsipnya, "Aku tidak ingin menemui nasib buruk karena tak menjadi pembaca buku", tegasnya.

Qibtiyatul Maisaroh menulis catatan dengan judul "Belanja Buku Saja". Titik tekan catatannya adalah bagaimana ia bersama kawan-kawannya seolah berkompetisi. Sebuah buku yang ingin ia ambil bisa saja diambil oleh temannya secara lebih cepat. Buku dan haru-biru harapan berpadu menjadi satu.

Hal menggembirakan adalah saat menemukan buku yang telah lama ia cari. Ini semacam menemukan harta karun. Namun ujung perburuan buku adalah mendapatkan buku dari hasil perjuangan yang kadang tidak ringan. 

"Buku-buku tersebut saling melambai dan memperkenalkan diri. Ada yang tidak mendapatkan tanggapan, ada yang terpaksa ditinggal dan ada yang terpungut melalui negosiasi rumit", tulis Qibtiyatul Maisaroh di ujung catatan.

Hanputro Widyono menulis catatan dengan judul, "Hari Penghabisan Lelaki Pemanggul Kamus". Spirit yang diusung tulisan ini mirip dengan para penulis lainnya. Muara dari perburuan buku adalah memiliki buku yang bukan sekadar di pajang sebagaimana dilakukan oleh banyak orang tetapi dengan membacanya.

Perburuan terus ia lakukan. Kamar kosnya kini penuh sesak dengan buku. Namun ia terus berburu buku karena ia merasakan ada sesuatu berbeda yang tidak bisa diungkapkan.

Membeli buku memang lebih berdasarkan pertimbangan rasa senang dan kepemilikan uang, bukan berdasarkan pertimbangan waktu luang. Wajar jika penggila buku terus berburu buku. Apakah semua buku yang dimiliki telah terbaca? Tentu belum. Namun memiliki buku sendiri adalah investasi yang tidak bernilai.

Laila Sari menulis kisahnya dengan judul, "Buku Berjumpa Buku". Senafas dengan kawan-kawannya, ia berkisah dalam bahasa yang heroik. Ia melukiskan bagaimana saat masuk ke Blok M di bagian buku dengan "...langkah-langkah cemas kegirangan". 

Saya kira hanya pemburu buku saja yang bisa memiliki perasaan semacam ini. Mereka yang tidak suka buku akan berlalu begitu saja di tumpukan kios-kios yang menjajakan buku.

Bagi Laila Sari, belanja di Blok M berbeda dengan di toko buku. Hal ini disebabkan karena harga buku laiknya harga barang di pasar. Negoisasi harga bukan sekadar bagaimana sebuah kesepakatan diperoleh, tetapi negoisasi itu menunjukkan peran penjual buku sebagai pemegang otoritas tunggal.

Keputusannya menjadi penentu apakah buku akan bersama pembeli atau memisahkan. Pada muaranya Laila menulis dengan nada nano-nano, "Buku hadir bersama suka cita, kekecewaan, kesedihan, obrolan, tulisan, dan perjumpaan dengan buku-buku yang lain".

Na'imatur Rofiqoh menulis catatan dengan judul, "Mulut, Mata, Telinga, Tangan, dan Kaki yang Berhuruf". Judul ini secara jelas menunjukkan bagaimana penulisnya memiliki relasi intim dengan huruf. 

Uniknya, penulis catatan ini justru acapkali mendapatkan buku bagus tidak lewat pilihannya tetapi atas kebaikan kawan-kawannya. Sebagai penggila buku ia mendengar panggilan buku yang menggema di seantero lapak-lapak buku.

Panggilan itu hanya mampu dihentikan oleh satu hal, yaitu duit yang habis. Anehnya, "..malam itu kami jadi manusia paling bahagia, paling menang di antara para penumpang bus berwajah lelah yang menunduk menghadapi gawai, mbak-mbak bersepatu Nike, Adidas, bergincu merah berpakaian terkini".

Catatan berikutnya berjudul, "Meresah Buku, Menggairah Majalah". Penulisnya adalah Udji Kayang Aditya Supriyanto. Ia menyebut dirinya sebagai pembelanja buku "garis keras". Bukan semua buku ia beli. Hanya buku sesuai minatnya saja. Jika ada yang kurang sesuai ekspektasi, ia mengumpat.

Ekspektasi itu bisa jadi berkaitan dengan tema buku. Bisa juga berkaitan dengan harga. Maka sebagai pembelanja buku garis keras, ia bisa menghabiskan nyaris semua uang yang dimilikinya. Dampaknya sungguh mengerikan. Ia bisa didera kemiskinan berhari-hari setelah belanja buku.

Apa yang ada dalam bayangan Anda ketika membaca sebuah catatan berjudul, "Tangan-tangan Bermata Kata"? 

Anda mungkin memiliki penjelasan yang bervariatif. Ya, Setyaningsih, sang penulis catatan berkisah bagaimana belanja buku senada dengan belajar menulis. Ada perjuangan, kompetisi, dan belajar tentang kerasnya kehidupan.

Bagi Setyaningsih dan kawan-kawannya, membaca buku bukan sekadar menambah ceruk pengetahuan tetapi menjadi ajang adu tafsir, referensi, diksi, dan memproduksi esai. Maka membaca buku adalah modal untuk bertarung dengan sesama mereka.

Namun menemukan buku sesuai harapan itu ibarat menemukan jodoh. "Buku bisa berarti pertemuan, tapi juga penundaan berkepanjangan yang sering mempertemukan pada ketidakpastian akut", jelasnya.

Catatan Bandung Mawardi, esais muda kondang dengan judul, "Setumpuk Buku: "Jelek" dan Penting", menegaskan bahwa belanja buku di kios Blok M dinilainya seperti pembuatan sejarah kecil tanpa catatan kaki. Bandung Mawardi penyuka buku lawas. Ini pilihan tidak mudah yang mengantarkannya pada kesepian.

Tidak banyak yang tertarik pada buku lawas, seperti juga tidak banyak buku lawas yang dijual. Ini yang membuatnya menjadi manusia yang tenang, menjauhi kemrungsung. Kisahnya menjadi penjelas bagaimana buku-buku lawas adalah sumber referensi penting dalam menghasilkan esai.

Catatan penuh emosi bisa dibaca dari tulisan Anindita Prabawati yang berjudul, "Pembaca, Kolektor Kata dan Sejumput Dosa". Ia menulis bahwa pembaca acapkali berhadapan dengan kesialan. Salah satunya adalah saat gagal mendapatkan buku. Kondisi ini diperparah dengan ambisi berbuku namun berseteru dengan jumlah rupiah.

Padahal buku bisa membantu, membimbing pembaca menuju alam pemikiran tertentu. Secara heroic Anindita menutup catatannya: buku mewakili daya magis untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemiliknya. Buku akan memilih siapa empunya. Mereka akan menunjukkan dirinya pada para pembaca, menggoda pembaca untuk mengoleksi dirinya.

Catatan penutup berjudul, "Dari Sebuah Tempat, Dari Suatu Waktu", dibuat oleh M. Fauzi Sukri. Fauzi Sukri menulis bahwa buku adalah sebuah perjumpaan. 

Menemukan buku merupakan kebahagiaan. Tidak mudah memahami hal ini tetapi begitulah kenyataannya. Para peminat buku, khususnya buku lawas, menemukan banyak hal yang tidak mudah diungkap dalam tulisan.

Buku ini tipis tetapi bergizi. Kisah membeli buku yang dilakukan oleh sepuluh orang bisa menjadi buku. Ini seperti membeli buku lahir buku. 

Spirit semacam ini sangat penting untuk diteladani. Di tengah gempuran dunia digital dan minat membaca yang jauh dari harapan, buku semacam ini penting untuk dihadirkan.

Ngainun Naim
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, 3 Januari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun