Panggilan itu hanya mampu dihentikan oleh satu hal, yaitu duit yang habis. Anehnya, "..malam itu kami jadi manusia paling bahagia, paling menang di antara para penumpang bus berwajah lelah yang menunduk menghadapi gawai, mbak-mbak bersepatu Nike, Adidas, bergincu merah berpakaian terkini".
Catatan berikutnya berjudul, "Meresah Buku, Menggairah Majalah". Penulisnya adalah Udji Kayang Aditya Supriyanto. Ia menyebut dirinya sebagai pembelanja buku "garis keras". Bukan semua buku ia beli. Hanya buku sesuai minatnya saja. Jika ada yang kurang sesuai ekspektasi, ia mengumpat.
Ekspektasi itu bisa jadi berkaitan dengan tema buku. Bisa juga berkaitan dengan harga. Maka sebagai pembelanja buku garis keras, ia bisa menghabiskan nyaris semua uang yang dimilikinya. Dampaknya sungguh mengerikan. Ia bisa didera kemiskinan berhari-hari setelah belanja buku.
Apa yang ada dalam bayangan Anda ketika membaca sebuah catatan berjudul, "Tangan-tangan Bermata Kata"?Â
Anda mungkin memiliki penjelasan yang bervariatif. Ya, Setyaningsih, sang penulis catatan berkisah bagaimana belanja buku senada dengan belajar menulis. Ada perjuangan, kompetisi, dan belajar tentang kerasnya kehidupan.
Bagi Setyaningsih dan kawan-kawannya, membaca buku bukan sekadar menambah ceruk pengetahuan tetapi menjadi ajang adu tafsir, referensi, diksi, dan memproduksi esai. Maka membaca buku adalah modal untuk bertarung dengan sesama mereka.
Namun menemukan buku sesuai harapan itu ibarat menemukan jodoh. "Buku bisa berarti pertemuan, tapi juga penundaan berkepanjangan yang sering mempertemukan pada ketidakpastian akut", jelasnya.
Catatan Bandung Mawardi, esais muda kondang dengan judul, "Setumpuk Buku: "Jelek" dan Penting", menegaskan bahwa belanja buku di kios Blok M dinilainya seperti pembuatan sejarah kecil tanpa catatan kaki. Bandung Mawardi penyuka buku lawas. Ini pilihan tidak mudah yang mengantarkannya pada kesepian.
Tidak banyak yang tertarik pada buku lawas, seperti juga tidak banyak buku lawas yang dijual. Ini yang membuatnya menjadi manusia yang tenang, menjauhi kemrungsung. Kisahnya menjadi penjelas bagaimana buku-buku lawas adalah sumber referensi penting dalam menghasilkan esai.
Catatan penuh emosi bisa dibaca dari tulisan Anindita Prabawati yang berjudul, "Pembaca, Kolektor Kata dan Sejumput Dosa". Ia menulis bahwa pembaca acapkali berhadapan dengan kesialan. Salah satunya adalah saat gagal mendapatkan buku. Kondisi ini diperparah dengan ambisi berbuku namun berseteru dengan jumlah rupiah.
Padahal buku bisa membantu, membimbing pembaca menuju alam pemikiran tertentu. Secara heroic Anindita menutup catatannya: buku mewakili daya magis untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemiliknya. Buku akan memilih siapa empunya. Mereka akan menunjukkan dirinya pada para pembaca, menggoda pembaca untuk mengoleksi dirinya.