Mohon tunggu...
N Fatiha Yasin
N Fatiha Yasin Mohon Tunggu... -

I love my family -my late bapak, my ibuk, my sisters, my nephews. I do care about animal welfare, am trying to be a writer and keen on teaching English :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Aku Luruh di Kakimu, Ibuk

23 Desember 2013   12:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No.326

Ibuk,

Ini adalah surat kedua yang aku tulis untuk Ibuk.

Maafkan karena aku memang tidak pernah mengatakan sayang padamu.

Surat pertama aku tulis sekitar 26 tahun yang lalu

--kira kira saja karna aku lupa kapan tepatnya.

Surat itu ku tulis dengan pensil,

di kertas lipat warna biru
dan kuletakkan di atas kacang panjang yang tergeletak di dapur.

Sengaja aku letakkan di sana
supaya Ibuk bisa dengan mudah melihatnya.

Tentu saja dengan tulisan tanganku yang belum rapi.

Aku menulis kalau aku lebih sayang Bapak ketimbang Ibuk.

Karena Ibuk suka marah marah, sedangkan Bapak tidak.
Karena terkadang Ibuk juga mencubitku kalau aku membantah nasehat Ibuk.

Lain waktu Ibuk memukulku dengan gantungan baju kalau aku tidak mau tidur siang.

Bahkan pernah Ibuk mengunciku di luar rumah kalau aku asyik bermain dan tidak pulang-pulang.

Ibuk,

Rumah kecil berdinding bambu itu jadi saksi

Betapa keras dan disiplinnya didikan Ibuk kepadaku

--mungkin karena aku anak pertama.

Tiap musim ujian datang, tumpukan buku pelajaran di meja harus ada.

Televisi hitam putih 14 inch akan Ibuk kunci di dalam lemari.

Bahkan saat listrik matipun,tidak ada alasan bagiku untuk tidak belajar.

Lilin, petromaks, lampu tempel bahkan sampai ublik akan Ibuk nyalakan,

Supaya aku dapat melihat tulisan tulisan di bukuku.

Aku masih ingat betapa kerasnya Ibuk mendidikku

Bahkan pernah sampai menyobek buku cerita milik teman adikku
--Ibuk masih ingat kan?

Itu salahku memang.

Karena aku membaca buku cerita “Lima Sekawan’ ketika musim ujian.

Sebenarnya aku sudah membacanya secara sembunyi sembunyi, bahkan adikku sampai menyembunyikannya di tumpukan baju-baju dalam di lemari pakaian kami.

Tapi saat itu aku teledor.

Aku lupa untuk menyembunyikannya kembali.

Hingga akhirnya Ibuk menemukannya dan dengan marah memanggil kami berdua.
Dengan serta merta Ibuk menyobek buku cerita itu di depan kami.

Adikku menangis keras keras.
Takut.
Marah juga padaku pastinya sebab itu bukan buku kami.

Itu buku temannya, yang jelas jelas kami tidak dapat segera membelinya untuk mengganti sebab kami tidak punya cukup uang.

Aku hanya tertegun.

Diam.
Seperti menelan sebongkah batu gunung di tenggorokanku.

Sesak.

Takut juga.

Tapi Ibuk,
aku tahu Ibuk sangat sayang kepadaku dan adikku.
Diam-diam Ibuk dan Bapak membelikan buku cerita yang baru, yang persis sama, sebagai ganti buku yang sobek itu.

Ibuk,

Didikan Ibuk yang lain adalah aku dan adikku tidak boleh meminta apapun kepunyaaa teman-temanku.

--apapun itu, jajanan, mainan, hapusan, pensil, karet gelang

Kalau aku pingin sesuatu punya temanku di sekolah, Ibuk menyuruhku untuk diam.
Aku harus menunggu samapai pulang sekolah dan dijemput atau sampai aku tiba di rumah.

Kemudian bilang ke Ibuk atau Bapak.

Jika beliau punya uang dan yang aku inginkan itu masih dapat dibeli oleh mereka maka beliau akan membelikannya untukku.

Tapi jika tidak,maka aku harus menunggu sampai Bapak punya uang yang cukup untuk membelikannya.

Atau, aku akan menyisihkan uang jajanku yang hanya sekeping koin seratus perak, selama beberapa hari.
Memasukkannya ke dompet kecilku, sampai jumlahnya cukup untuk membeli jajanan yang aku maui di sekolah


Tapi Ibuk sayang,
Semua itu ada hasilnya.
Aku dan adikku tidak pernah ketinggalan ranking di sekolah.
Bapak akan selalu maju menit menit awal pengambilan rapot kami karena kami selalu menyabet juara kelas.

Ibuk,
Masih ingat kah?

Kalimat ini yang terus menerus Ibuk perdengarkan padaku dan adik-adik.

Ibuk Bapak dudu wong sugih. Ibuk Bapak gak duwe bondo, gak iso marisno bondo. Oleh karena itu Ibuk Bapak cuma bisa bisa mewariskan ilmu. Sekolah o sing duwur. Kalau buat biaya sekolah,Ibuk dan Bapak akan mengusahakan biayanya sebesar apapun itu. Meskipun kita nantinya cuma makan sama kerupuk.”

Dan Ibukku sayang,
Itulah yang engkau perjuangkan bersama Bapak.
Aku dan kedua adikku adalah sarjana sarjana yang telah kau ukir bersama Bapak.
Padahal Ibuk sendiri hanya lulus SMP.

Duhai Ibuk,

Dan cobaan terberat itu datang

Bapak sakit.

Penyakit yang dideritanya selama belasan tahun sudah menggerogoti semua kegagahannya.

Bapak ambruk. Tidak dapat berjalan.

Saat itulah puncak pembelajaran dan pemahamanku terhadap Ibuk.

Aku benar benar melihat sosok wanita hebat, tangguh, kuat, nyata berkeliaran di depan mataku.

Sejak Agustus 2009, Ibuk mengosongkan kamarnya di lantai 3 rumah kami.
Ibuk berkamar di garasi, di depan kamar Bapak.

--karena Bapak tidak dapat berjalan maka kami terpaksa memindahkan Bapak ke lantai 1 supaya mudah membimbing beliau ke kamar mandi.
Ibuk adalah motor penggerak bagi kami, anak-anak perempuannya.

24 jam Ibuk berada di sisi Bapak.

Memindahkan aktivitas hariannya di papan kayu yang kami pasang di depan kamar Bapak, tempat kami tidur, makan,solat dan lain lain.

Ibuk pula yang paling sigap menyuap bapak, mengambilkan minum, mengganti sarung dan pakaian bapak kalau beliau mengompol, menyeka Bapak bahkan menjadi yang paling setia duduk di dekat Bapak untuk ngobrol.

Ibuk meninggalkan semua aktivitas di luar rumahnya mulai pengajian, kumpulan PKK dan lain lain. Ibuk benar benar di rumah, di garasi, di dekat Bapak.

1 tahun lebih Ibuk melakoni rutinitas seperti itu.
Hingga 6 Oktober 2010, Bapak meninggal.

Allah lebih menyayangi Bapak jauh daripada Ibuk dan kami –anak-anaknya-menyayangi beliau.

Pukulan terdahsyat dalam hidup kami, perempuan perempuan dalam rumah kami.

Sebenarnya Ibuk sudah mempersiapkan aku dan adik-adikku akan hal itu.

Tapi pada saat itu terjadi, pada saat orang yang paling kita sayangi di dunia ini meninggal,saat itulah kita ternyata tidak siap.
Tidak pernah siap.


Sepeninggal bapak, semua terasa kosong.

Ada rongga yang menganga di dalamku.

Di hidupku.

Bapak tidak ada lagi. Selamanya.

Aku tidak akan bertemu Bapakku lagi.

Tidak akan mendengar suaranya lagi.

Tidak akan melihat tawanya lagi.

Tidak akan mencium bau badannya lagi

Tidak akan memeluk tubuhnya lagi.

Ibuk,

Jelas teringat dalam kenangku,

Setelah Bapak meninggal

Bagaimana Ibuk menangis di dapur hanya karena melihat sayur asem

Atau ketika memarut kelapa untuk pepes tongkol

Karena itulah makanan favorit Bapak.

Dan bagaimana sampai sekarang Ibuk tidak mau makan jelly agar-agar

atau bahkan membuatnya

sebab Ibuk belum sempat membuatkannya untuk Bapak kala beliau masih sakit dulu.

Ibuk,

Aku tahu pasti betapa limbungya Ibuk ditinggal Bapak

meski Ibuk tidak pernah mau mengakuinya.

Aku tahu betapa nelangsanya Ibuk menjalani sisa umur

tanpa Bapak yang selalu menjadi tempat berkeluh kesah

--darimu Ibuk aku belajar bahwa cinta dan setia itu tidak perlu diucapkan tapi ditindakkan dalam laku.

--aku juga belajar bahwa menjadi kuat itu adalah untuk semua manusia, tidak hanya dominasi kaum pria.


Namun Ibuk,

Ketegaranmu lah yang membuat aku dan adik adikku mampu kembali tegak,

Berdiri, berjalan dan melanjutkan hidup ini
Tidak hanya sebagai anak yang tidak berBapak tapi sekaligus juga sebagai perempuan.

Ibukku cintaku,

Satu wasiat Bapak yang akupegang sampai kini dan nanti

Dadi o teken ne Ibukmu

--Jadilah tongkat penyangga Ibukmu
Maka Ibuk,
Aku, anak perempuanmu, akan menjadi tongkatmu,

Teman berjalanmu dan sandaranmu

Sampai nanti, salah satu dari kita menyusul Bapak di Surga.

Kesepian itu merenggut (cantik) Ibuku

Kesepian itu merenggut (cantik) Ibuku


Sudah kuhalau ribuan jam

Tapi Sepi masih menyelimuti ibuku.

Sudah kuenyahkan jutaan detik

Namun Sepi masih menggelayuti ibuku.

Satu persatu kekasih kekasih hatinya menjauh..

Pergi..

Ibunya..

Ayahnya..

Lelakinya..

Tongkat hidupnya..

Kembang kembangnya..

Semua rumput rumputnya..

Kesepian itu merenggut (cantik) Ibuku

"Kita tidak punya siapa siapa..

Kita tidak punya siapa siapa"

Peluknya menggiris..

Sekali lagi

Kesepian itu merenggut (cantik) Ibuku

"Masih ada aku..

Senyumlah..

Masih ada aku.."

Dan segala senyum bahagiaku meluruh sempurna

di telapak kaki sucinya

....

*Ibu, jika kesendirianku bisa meramaikan hatimu

Jika hidupku bisa mencantikkan nafasmu

Kuluruhkan semua itu dikaki muliamu juga*

Malang, 22 Desember 2013

________________________________________

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community.

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community (link : https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun