Tapi Ibuk sayang,
Semua itu ada hasilnya.
Aku dan adikku tidak pernah ketinggalan ranking di sekolah.
Bapak akan selalu maju menit menit awal pengambilan rapot kami karena kami selalu menyabet juara kelas.
Ibuk,
Masih ingat kah?
Kalimat ini yang terus menerus Ibuk perdengarkan padaku dan adik-adik.
‘Ibuk Bapak dudu wong sugih. Ibuk Bapak gak duwe bondo, gak iso marisno bondo. Oleh karena itu Ibuk Bapak cuma bisa bisa mewariskan ilmu. Sekolah o sing duwur. Kalau buat biaya sekolah,Ibuk dan Bapak akan mengusahakan biayanya sebesar apapun itu. Meskipun kita nantinya cuma makan sama kerupuk.”
Dan Ibukku sayang,
Itulah yang engkau perjuangkan bersama Bapak.
Aku dan kedua adikku adalah sarjana sarjana yang telah kau ukir bersama Bapak.
Padahal Ibuk sendiri hanya lulus SMP.
Duhai Ibuk,
Dan cobaan terberat itu datang
Bapak sakit.
Penyakit yang dideritanya selama belasan tahun sudah menggerogoti semua kegagahannya.
Bapak ambruk. Tidak dapat berjalan.
Saat itulah puncak pembelajaran dan pemahamanku terhadap Ibuk.
Aku benar benar melihat sosok wanita hebat, tangguh, kuat, nyata berkeliaran di depan mataku.
Sejak Agustus 2009, Ibuk mengosongkan kamarnya di lantai 3 rumah kami.
Ibuk berkamar di garasi, di depan kamar Bapak.
--karena Bapak tidak dapat berjalan maka kami terpaksa memindahkan Bapak ke lantai 1 supaya mudah membimbing beliau ke kamar mandi.
Ibuk adalah motor penggerak bagi kami, anak-anak perempuannya.
24 jam Ibuk berada di sisi Bapak.
Memindahkan aktivitas hariannya di papan kayu yang kami pasang di depan kamar Bapak, tempat kami tidur, makan,solat dan lain lain.
Ibuk pula yang paling sigap menyuap bapak, mengambilkan minum, mengganti sarung dan pakaian bapak kalau beliau mengompol, menyeka Bapak bahkan menjadi yang paling setia duduk di dekat Bapak untuk ngobrol.
Ibuk meninggalkan semua aktivitas di luar rumahnya mulai pengajian, kumpulan PKK dan lain lain. Ibuk benar benar di rumah, di garasi, di dekat Bapak.
1 tahun lebih Ibuk melakoni rutinitas seperti itu.
Hingga 6 Oktober 2010, Bapak meninggal.
Allah lebih menyayangi Bapak jauh daripada Ibuk dan kami –anak-anaknya-menyayangi beliau.
Pukulan terdahsyat dalam hidup kami, perempuan perempuan dalam rumah kami.
Sebenarnya Ibuk sudah mempersiapkan aku dan adik-adikku akan hal itu.
Tapi pada saat itu terjadi, pada saat orang yang paling kita sayangi di dunia ini meninggal,saat itulah kita ternyata tidak siap.
Tidak pernah siap.
Sepeninggal bapak, semua terasa kosong.
Ada rongga yang menganga di dalamku.
Di hidupku.
Bapak tidak ada lagi. Selamanya.
Aku tidak akan bertemu Bapakku lagi.
Tidak akan mendengar suaranya lagi.
Tidak akan melihat tawanya lagi.
Tidak akan mencium bau badannya lagi
Tidak akan memeluk tubuhnya lagi.
Ibuk,
Jelas teringat dalam kenangku,
Setelah Bapak meninggal
Bagaimana Ibuk menangis di dapur hanya karena melihat sayur asem
Atau ketika memarut kelapa untuk pepes tongkol
Karena itulah makanan favorit Bapak.
Dan bagaimana sampai sekarang Ibuk tidak mau makan jelly agar-agar
atau bahkan membuatnya
sebab Ibuk belum sempat membuatkannya untuk Bapak kala beliau masih sakit dulu.
Ibuk,
Aku tahu pasti betapa limbungya Ibuk ditinggal Bapak
meski Ibuk tidak pernah mau mengakuinya.
Aku tahu betapa nelangsanya Ibuk menjalani sisa umur
tanpa Bapak yang selalu menjadi tempat berkeluh kesah
--darimu Ibuk aku belajar bahwa cinta dan setia itu tidak perlu diucapkan tapi ditindakkan dalam laku.
--aku juga belajar bahwa menjadi kuat itu adalah untuk semua manusia, tidak hanya dominasi kaum pria.
Namun Ibuk,
Ketegaranmu lah yang membuat aku dan adik adikku mampu kembali tegak,
Berdiri, berjalan dan melanjutkan hidup ini
Tidak hanya sebagai anak yang tidak berBapak tapi sekaligus juga sebagai perempuan.
Ibukku cintaku,
Satu wasiat Bapak yang akupegang sampai kini dan nanti
‘Dadi o teken ne Ibukmu’
--Jadilah tongkat penyangga Ibukmu
Maka Ibuk,
Aku, anak perempuanmu, akan menjadi tongkatmu,
Teman berjalanmu dan sandaranmu
Sampai nanti, salah satu dari kita menyusul Bapak di Surga.
Kesepian itu merenggut (cantik) Ibuku
Kesepian itu merenggut (cantik) Ibuku