"Ya mas, Fatimah tahu dan bapak juga sudah menanyakan terus, kelanjutan hubungan kita, tapi ... " Fatimah diam dan ada nuansa keraguan.
"Ayolah dik, katakan saja, kalau sekiranya mas masih ada kekurangan, mas akan penuhi kekurangan itu, kalau adik tidak katakan, mas tidak bisa menebak tentang kamu dik, mas tidak tahu apa yang ada pada dirimu dik." Fatimah tetap masih diam.
Empat bulan kemudian.
Fatimah mengajak Karmani datang kepernikahan adik tirinya yang tinggal di desa lain satu kecamatan.
Karmani bersedia menemani, sekalian kesempatan berkenalan dengan keluarga calon gadis yang akan dijadikan istrinya. Ternyata tidak begitu jauh jarak rumah Fatimah dengan saudara tirinya.Â
Didalam acara perhelatan nikah itu, Karmani melihat ada sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan, membayangkanpun juga tidak.
Yang duduk disebelah ibu mempelai perempuan itu seorang bapak yang dia kenal, itu bapaknya Fatimah.
Oh, ...
Dia baru sadar kalau bapaknya Fatimah punya istri kedua. Ah ... bodohnya aku, saudara tiri kan sudah jelas artinya. (kata hatinya)
Dikemudian hari.
"Fatimah, sekarang giliran kamu." kata bapak kepada Fatimah.
"Giliran apa pak, kok kayak antri beras atau minyak di koprasi, yen ngendikan mbok sing gamblang ngoten hlo pak." Â jawab Fatimah. yang maksudnya, bapaknya di minta bicara terus terang saja, biar jelas.
"Kamu kan sudah punya calon bojo (jodoh atau suami), kapan kamu dilamar?" tanya bapak.
"Bener ini pak ... bapak sudah ijinkan dan akan merestui Fatimah jadi istrinya mas Karmani?" tanya balik Fatimah kepada bapaknya.