Mohon tunggu...
Dony
Dony Mohon Tunggu... -

Alumni Komunikasi UGM Angkatan 2008, cuma mau bersuara, nyobain ngeblog..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konversi Gas LPG 3kg JK Sebagai Wapres Penuh Kecurangan

24 Juni 2014   22:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:14 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14035971481502994783

Hampir di semua rumah tangga, sekarang menggunakan gas LPG untuk memasak. Minyak tanah sudah jarang kita temui. Kebijakan konversi dari minyak tanah ke tabung LPG ini dimulai tahun 2006 yang dikomandoi oleh Wapres Jusuf Kalla. Saat itu harga minyak mentah dunia sudah mencapai USD 147/barel. Subsidi Minyak membengkak sampai Rp.25 triliun.


Sejak dilakukan konversi tersebut, kebutuhan akan LPG semakin lama semakin meningkat. Tahun 2013 kebutuhannya sudah mencapai sekitar 5 juta ton sebagai bahan bakar industri, perhotelan, rumah sakit, apartemen, restoran, pedagang kaki lima, dan rumah tangga. Sebenarnya menggunakan LPG lebih menguntungkan, walaupun sebenarnya selisih untungnya relatif kecil saja. Sementara harga LPG meningkat terus. Saat ini kebutuhan LPG 5 juta ton pertahun, produksi LPG dalam negeri hanya 2 juta ton per tahun, 3 juta ton harus impor.


Investasi untuk tabung LPG ini tidak sedikit. Pemerintah harus menyediakan paling tidak 140 juta tabung berikut aksesorisnya, membangun infrastruktur seperti terminal penampung, kapal penampung LPG beserta depo nya. Di berbagai negara, LPG sering digunakan untuk bahan baku petrokimia, plastik, nilon tekstil, cat, dll. Menurut saya, seharusnya pemerintah melakukan konversi energi dari minyak tanah ke gas alam, yang jauh lebih murah, ketimbang menggunakan LPG.


Jika pemerintah memilih untuk menggunakan gas alam, Pertamina dan PGN harus membangun infrastruktur gas untuk pendistribusian ke rumah tangga, perhotelan, kawasan industri, dsb. Pemerintah tidak perlu memberi subsidi untuk LPG lagi. Gas alam itu jauh lebih murah dari LPG dan ketersediaannya berlimpah di negeri ini.


Kebijakan pengelolaan migas oleh Pemerintah dinilai sebagian kalangan sebagai kebiijakan yang salah kaprah. Indonesia yang kaya akan gas alam, tapi tidak bisa memaksimalkan kekayaannya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya.


Peran Jusuf Kalla


Saat menjadi Wakil Presiden periode 2004 – 2009, Jusuf Kalla dijuluki sebagai “The Real President” dikarenakan sangat dominannya mendorong dan menguasai perekonomian Negara dan Proyek – proyek infrastruktur serta migas. JK memulainya dengan membuat Perusahaan bernama Bukaka Group, Kalla Group untuk menaungi bisnisnya saat pembukaan tender-tender besar pemerintah. Kemudian di tahun 2006 ia mengusulkan ide tentang konversi minyak tanah ke gas LPG. Proyek tersebut dinilai berhasil, namun sedikit orang yang mengetahui bahwa yang memproduksi gas-gas yang bermasalah tersebut (rawan meledak) merupakan produksi yang berhasil diambil alih oleh perusahaan-perusahaan Jusuf Kalla yaitu Bukaka Group dan Kalla Group. Hal tersebut membuat proyek ini rawan akan tindak korupsi karena Jusuf Kalla berperan dalam pengambil keputusan siapa yang akan memproduksi gas LPG tersebut. Sungguh cerdik bukan?

Sebelumnya, anak perusahaan milik Jusuf Kalla, yaitu PT Bukaka Teknik Utama memperoleh proyek transmisi listrik sebesar 500 kilovolt bernilai USD 200juta yang terdiri dari jaringan transmisi Lot I dari Klaten ke Rawalo (Jawa Tengah), dan Lot II dari Rawalo ke Tasikmalaya (Jawa Tengah) melalui sebuah proses tender yang beraroma KKN. Berdasarkan pertimbangan tersebut pada tanggal 11 Mei 2000, Gus Dur melalui Direktur Operasi PT PLN memutuskan untuk membatalkan hasil tender. Alasan Gus Dur lainnya adalah PT Bukaka Teknik Utama pernah pernah menelantarkan proyek PLN. Adapun Jusuf Kalla dipecat pada tanggal 24 April 2000 atau tiga minggu sebelum pembatalan pemenangan proyek penuh aroma KKN sebagaimana diuraikan di atas.


Slogan “Lebih cepat lebih baik” dapat menjadi pintu masuk untuk menilai

bagaimana Jusuf Kalla memperlakukan negara. Meski JK tak dapat

dipisahkan dari Yudhoyono sebagai simbol negara, sejumlah kebijakan

negara menunjukkan pengaruh asas percepatan yang dianut JK.

Salah satunya adalah konversi minyak tanah ke elpiji. Dengan optimisme

tinggi Kalla meresmikan proyek itu di sebuah agen minyak tanah di Kebon

Pala, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, 8 Mei 2007. “Bersama ini saya

resmikan pelaksanaan program konversi penggunaan elpiji tiga kilogram

untuk rumah tangga golongan ekonomi rendah yang selama ini menggunakan

minyak tanah,” ujar Kalla menutup pidatonya kala itu.


Setidaknya dua bulan setelah peresmian program itu sejumlah wilayah

sasaran kelimpungan. Di sejumlah wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa

Barat, rakyat miskin dan pedagang kecil kelabakan mencari minyak tanah.


Tiba-tiba minyak tanah di agen dan depo menghilang. Jikapun ada,

harganya melonjak dua kali lipat dari harga semula karena subsidi

ditiadakan. Antrean panjang calon pembeli minyak pun terjadi di banyak

tempat. Meski telah diberi tabung elpiji 3 kilogram secara gratis,

masih terlampau banyak masyarakat yang terbiasa dengan minyak tanah

belum mampu membeli gas.


Akibatnya, kritik pun tertuju ke pemerintah. Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Agung Laksono, misalnya, menuding konversi minyak tanah ke gas

tidak disertai persiapan matang. Dia menilai pemerintah tak mampu

mengantisipasi keterkejutan masyarakat yang “dipaksa” meninggalkan

minyak tanah dan berganti ke elpiji.


Persiapan tak matang itu tidak saja memunculkan antrean dan keluhan,

namun juga korban nyawa. Pada Kamis malam 28 Mei 2008, ledakan tabung

gas menewaskan Ahmad Yani, warga kampung Leuweung Larangan, Desa

Pancawati, Caringin Bogor. Ahmad Yani tewas di tempat saat mencoba

kompor gas itu di rumah tetangganya. Tabung gas itu baru dibagikan di

kampung Leuweung Larangan sore hari sebelumnya.


Koordinator Urban Poor Consortium (Konsorsium Masyarakat Miskin Kota)

Wardah Hafiz mengatakan, kematian warga karena ledakan tabung gas jatah

dari pemerintah menunjukkan “asas percepatan” tidak tepat sasaran. Dia

menilai kebijakan yang tidak matang itu dipercepat hanya untuk memoles

citra pemerintah.


“Konversi itu tidak dirancang dengan teliti dan baik, tapi mau

cepat-cepat supaya pemerintah dapat citra. Ini pemerintahan yang jaim

(jaga image). Jadi, mereka tidak peduli bahwa kebijkan itu seharusnya

dengan persiapan yang baik,” kata Wardah.


Senada dengan Wardah, Koordinator Divisi Pusat Data dan Analisa

Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas menilai konversi minyak tanah

ke gas dapat dimanfaatkan demi kepentingan elite. Lubang yang rawan

adalah penciptaan rantai distribusi yang panjang dengan banyak anak

tangga. “Ini menimbulkan politik rente,” katanya.


Kesan ketergesa-gesaan demi mendapatkan citra itu kian tampak saat PT

Pertamina tertatih-tatih memenuhi target konversi pada akhir tahun

2008. Hingga Desember 2008, Pertamina hanya mampu mengkonversi 15 juta

rumah tangga dan industri kecil di Jawa, Bali, dan Sumatera Selatan.

Angka ini meleset dari target 20 juta keluarga yang dicanangkan

pemerintah.

Selain percepatan, slogan lain yang diteriakkan Jusuf Kalla adalah

menghindari campur tangan asing dalam pembangunan. Untuk slogan

tersebut, kita patut menaruh perhatian pada putra Makassar ini.

Terbukti Bandar Udara Internasional Sultan Hassanuddin Makassar sukses

didirikannya dengan relatif cepat tanpa perlu basa-basi dengan pihak

asing.


Menyaksikan tindakan Jusuf Kalla itu kita lantas diingatkan pada

perlunya membangun borjuasi lokal untuk menguatkan perekonomian

nasional. Sentimen nasionalisme barangkali mendasari keyakinan terhadap

borjuasi nasional ketimbang pengusaha asing.


Namun, sentimen nasionalisme itu bukannya tidak mengandung bahaya.

Firdaus Ilyas menyebut bahaya tersebut adalah koncoisme. Firdaus

sebenarnya tidak mengharamkan kerabat penguasa memiliki bisnis. Namun

dia mewanti-wanti adanya permainan yang tak bersih yang memanfaatkan

kekuasaan. “Tidak menutup kemungkinan, saudara dia, keluarga jauh dia,

tapi caranya fair. Misalnya, dia (kerabat penguasa) punya kompetensi

nggak dalam bidang energi? Kalau tidak, akan meragukan, akan kental

dengan nuansa koncoisme ketika dia dapat blok migas,” katanya.

*****Bisnis Jusuf Kalla


Berdiri:1952


Pendiri: H Kalla


Penerus: 1966: Jusuf Kalla


2004: Fatimah Kalla & Achmad Kalla (adik Jusuf Kalla)

A. Grup Hadji Kalla


Agen Tunggal Pemegang Merek (penyalur Toyota, Nissan, Daihatsu, KIA di Indonesia timur). PT. Hadji Kalla mengalami transformasi dan menjadi Kalla. Kalla Group (melalui anak perusahaannya, PT. Poso Energi dan PT. Energi Malea) membangun dua pembangkit listrik tenaga air yang masing- masing terletak di Poso, Sulawesi Tengah dan di Malea, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Melalui PT. Trans Kalla Makassar, Kalla Group juga membangun Trans Studio Makassar, taman rekreasi keluarga terbesar di Indonesia. Pada tahun 2009, PT. Haka Sarana Investama menjadi holding company

Transportasi


(PT Hadji Kalla Cahaya Bone, dll)


Konstruksi dan Properti


(PT Bumi Karsa Internasional, dll)


Perdagangan


(PT Hadji Kalla Trading Co.)


Elektronik


(PT Kalla Electrical System)


Agroindustri


(PT Makassar Mina Usaha, dll)


Pendidikan


(Yayasan Hadji Kalla)


B. Grup Bukaka


1.PT Bukaka Investindo


* PT Bukaka Teknik Utama


* PT Bukaka Singtel Internasional, dll

2.PT Bukaka Corporindo


* PT Bukaka Kujang Prima


* PT Bukaka Trans Pusaka


* PT Mitra Crane Top


* Ramp International Inc., dll


(sumber: Tempo 30 Oktober 2005)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun