Lagu-lagu asing dengan nada-nada lembut,
kursi-kursi yang jaraknya berdekatan,
udara yang berisi puisi melankolis seorang yang patah hati,
entah mengapa, terasa akrab.
Lampu-lampu yang digantung rendah dengan pencahayaan kuning lembut,
lukisan bunga kaktus di kanvas kasar yang digantung di dinding,
barisan buku-buku bersampul plastik,
seolah d jvu yang enggan tuntas.
Aku merasa romantis.
Dalam romantisme sore, yang mencumbu jingga,
tak pelak, menempelak laba-laba, yang enggan peduli.
Aku merasa romantis.
Dalam romantisme alam liar, yang masuk dalam dimensi ruang dan waktu,
terperangkap pada renjana semusimmu yang bertebaran di langit-langit berbatas.
Aku merasa romantis.
Dalam dominasi warna pada kayu-kayu, yang pernah mencintai tanah kelahirannya,
tak enggan terus mencinta meski tak berpelukan lagi kini.
Aku merasa romantis.
Dalam gumaman dan suara gaduh mereka yang tak saling kenal,
demi bahagia yang tak tentu serupa.
Aku merasa romantis.
Dalam bimbang yang dipitai indah dengan sapuan hijau toska dan zamrud,
yang memasuki mimpi dalam tidur siang singkat.
Menemukanmu.
Menemukanmu, diriku yang romantis.
Pada bata-bata merah yang dibiarkan asing diantara angkuhnya bebatuan alam warna-warni indah.
Pada potret-potret polaroid yang membingkai ingatan tanpa luruh.
Pada dia, dengan kerutan di ujung mata dan senyum, yang setia menatapku tanpa lelah, .
***
Catatan dari kotaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H