Mohon tunggu...
Netzaar
Netzaar Mohon Tunggu... -

Hidup yg tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan. (Sjahrir)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Balada Perawan, Suci, dan Pernikahan

22 Agustus 2013   16:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:58 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan sehari sebelum pernikahan kau mengajakku ke bukit dekat rumahmu Ah, kau tahu saja aku menyenangi bukit dan kawan-kawannya

Tetiba kita sudah di atas bukit Duduk bersebelahan Jilbabmu bergerak kesana kemari Angin seolah ingin membelai dan bermain dengan untir-untiran di sepanjang pinggir jilbabmu

Dan kau berkata:

“Di matamu, apa yang paling penting dari seorang wanita?” Apa maksudmu bertanya seperti itu, Netzaar?

“Sudahlah, jawab saja” Aku tak mengerti

“Kau percaya bahwa semua tekad membutuhkan ujian? bahwa semua semangat butuh diuji?” Ya. Aku sangat percaya. Tanpa ujian, omong kosonglah semua niat. Dan kau ingin berkata bahwa niatku menikahimu sedang diuji?

“Kau ini pintar sekali menebak pikiran orang. Baiklah, pasang telingamu baik-baik. Siapkan hatimu dengan kisah singkat ini. Kisah yang mungkin akan membuatmu memutar haluan. Aku sudah siap itu. Kisah ini akan dimulai dengan kata pemerkosaan. Aku harap kau tidak risi dengan istilah itu. Apakah kau akan berpikir bahwa aku adalah korban pemerkosaan? Ya. Aku adalah sang korban itu. Sang korban yang dicabik-cabik kehormatannya oleh segerombolan orang yang tak pernah aku kenal. Sang korban yang akhirnya memiliki pengalaman traumatis yang panjang. Sang korban yang lalu lemas lunglai tak berdaya setelah keperawanannya dihabisi tanpa ampun di bilik WC kampusku.Keperawananku direguk secara bergilir oleh manusia-manusia bejat itu. Tak usahlah kau bertanya bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Itu bukan hal yang terpenting. Yang terpenting, setelah kau tahu ini semua, apakah kau akan tetap menikahiku besok?”

Aku memandang hamparan pohon pinus di sekeliling lembah Terlihat hijau

Aku memandang wajahnya Tak ada kerut kesedihan di wajahnya kali ini Tak pula ada air mata yang meminggir di kelopak matanya Kata-kata yang meluncur pun adalah kata-kata yang mantap Tegas

Seolah lautan luas itu sudah berhasil ia arungi dengan kepala tegak Ya, dengan kepala tegak

Aku lalu menjawab: Apakah aku menikahimu karena keperawananmu? Standar moral mana yang membuatku berpikir bahwa jika kau tak lagi perawan, maka semua pintu kebaikan akan tertutup? maka semua masa depan akan suram? maka semua tindakanmu menjadi tidak sah dan amoral? maka kau secara sosial wajib kami hakimi dan asingkan? maka kau secara agama haram untuk dinikahi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun