Mohon tunggu...
Netzaar
Netzaar Mohon Tunggu... -

Hidup yg tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan. (Sjahrir)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Balada Perawan, Suci, dan Pernikahan

22 Agustus 2013   16:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:58 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengenal matamu yang selalu sayu di stasiun tua itu Yang dengus asap keretanya membumbung hitam Saat itu kau sedang duduk manis Membaca buku Biografi Oprah Winfrey Dan melamun

Aku yang berdiri di seberang Mengamatimu diam-diam Melihat gerikmu yang seketika meruyak menjadi ilusi Kau terlalu mudah untuk dikhayalkan Perempuan berjilbab panjang

Enam bulan usai lewat Aku masih selalu berdiri di seberang Dengan isi kepala penuh imajinasi Imaji pernikahan yang selalu indah, yang euforianya melebihi kenyataan sebenarnya, kata temanku

Enam bulan itulah aku mengumpulkan keberanian Untuk sekedar mengatakan aku cinta padamu Cinta yang tak lagi bisa aku temukan alasannya ketika kau tanya mengapa Cinta yang memang buta, tapi benar adanya Cinta yang sudah ku-baja-kan dengan tekad yang bulat sebulat-bulatnya Cinta yang sudah ku-jelaga-kan dengan warna yang hitam-sehitamnya Cinta yang sudah ku-tahajud-i dengan do’a khusyuk yang sekhusyuk-khusyuknya

Sebelum kau sempat menjawab, aku maju selangkah lagi Seolah sedang menodongkan moncong pistol ke arahmu Pertanyaanku kemudian melesat ke jantungmu: Apakah kau mau menikah denganku?

Tanya itu datang bagai peluru yang lepas dari magasinnya, Yang kemudian selalu menghantuimu Dan kau pun selalu bertanya padaku Bertanya, bertanya, dan bertanya

Yang aku heran, pertanyaanmu selalu sama: Apa kau takkan menyesal menikah denganku?

Ratusan kali kau lontarkan pertanyaan itu, Ratusan kali itu pula aku melihat sorot mata yang meredup Ratusan kali itu pula aku melihat jari-jari tanganmu melipat-lipat tak beraturan Ratusan kali itu pula aku melihat air mata yang tertahan jatuh di pinggir kelopak matamu

Ragu dan sesal kemudian, Telah musnah dari tekadku yang makin membaja, Telah luruh keluar bersamaan dengan nafasku, Telah kehilangan kelunya dari lidah yang akan berucap tegas: Aku takkan menyesal menikah denganmu nanti

Aku tak pernah memaksamu sekalipun Untuk menanyakan alasan kenapa kau ratusan kali bertanya hal yang sama Aku tak tahu apa yang sedang terjadi Aku sudah berjanji akan selalu menjaga perasaanmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun