"Ayo bangun, jangan males-malesan begitu ah!" Kata suamiku sambil menarik dan mengusap kepalaku.
"Uhhhhh, masih ngantuk dan dingin," kataku merajuk
"Hemmm, lawan rasa malasnya. Cepetan mandi dan sholat," suamiku tersenyum mengedipkan mata.
"Haduhhh, inilah yang paling aku males kalau semalam sunah rosul, selalu aja harus mandi pagi buat keramas hihi."Â Â Jawabku dengan tersenyum malu.
"Ayolah, bawalah anak-anakmu ke surga. Tanamkan kedisiplinan sholat dan mengaji menjadi suatu kebiasaan dan kebutuhan. Aku sangat bergantung padamu. Meskipun aku sebagai kepala rumah tangga, tapi kamulah sesungguhnya yang paling berperan. Kamulah yang paling banyak di rumah dan menjaga anak-anak. Memperhatikan dan mendisiplinkan mereka." Terang suamiku panjang lebar.
******
Itulah percakapan antara aku dan suamiku di pagi tadi. Teguran yang membuatku merasa malu dan sebagai koreksi diri. Permintaannya kepadaku agar aku disiplin dalam menjalankan sholat 5 waktu. Karena menurutnya, selain dirinya sesungguhnya akulah contoh nyata bagi anak-anaknya.
Ya, tak dapat dipungkiri seorang ibu adalah cermin dan panutan bagi anak-anaknya. Semua pembentukan kepribadian dan tingkah laku seorang anak ibulah yang membentuk sejak kecil.
Ibulah yang pertama kali mengajari anak bagaimana caranya makan. Bagaimana caranya menggunakan sendok dan garpu. Bagaimana caranya seorang anak bisa lepas dari asi atau susu dot beralih ke minum susu di gelas. Bagaimana caranya mandi. Menggosok gigi, sabunan, dan keramas. Bagaimana caranya membaca , menulis, dan mengaji. Mengeja huruf dan merangkai kata pada sebuah kertas. Bagaimana caranya...
Ibu jugalah yang paling memahami anaknya tanpa anaknya harus berbicara. Seorang ibu akan tau kapan anaknya merasa sedih tanpa harus melihat anaknya menangis. Seorang ibu akan tau anaknya kapan berkata bohong hanya dengan melihat tatapan matanya. Seorang ibu akan tau ketika anaknya merasa gembira atau jatuh cinta hanya dengan melihat senyum dan tindakannya. Seorang ibu tau kapan waktunya memeluk, dan melepaskan anaknya.
Jadi teringat masa kecilku dulu, meskipun aku lahir dari keluarga yang tidak sempurna namun aku sangat bersyukur berada di bawah pengasuhan keluarga utuh yang menurutku sangat ideal sebagai orang tua. Sejak kecil, aku diasuh oleh Pamanku. Kakak dari ayahku. Pamanku bekerja di Depag dan istrinya bekerja sebagai guru agama. Sejak kecil, dasar-dasar agama dan berprilaku yang baik telah mereka tanamkan kepadaku.
Kami tinggal di Jakarta dengan segala kesibukannya dan keterbatasan waktu. Tapi abi dan umi sangat pandai mengatur waktu yang berkualitas. Setiap hari kami dibiasakan untuk sholat subuh, magrib dan isya berjamaah. Abilah yang menjadi imamnya. Kami juga dibiasakan mengaji 10 ayat setelah sholar magrib secara bersama-sama, setelah itu ditutup dengan makan dan belajar bersama.
Sungguh, ketika kecil, sholat dan mengaji awalnya aktivitas harian yang tidak aku sukai. Terasa seperti beban buatku dan tidak menyenangkan. Tapi ternyata aku salah, sekarang aku sangat bersyukur di bawah pengasuhan keluarga yang menomersatukan pendidikan agama. Dan berusaha menerapkannya kembali kepada anak-anakku. Ingin mereka menjadi lebih baik dariku, atau setidaknya dengan standar yang sama seperti yang aku peroleh dahulu.
Seperti yang diajarkan oleh abi dan umi, aku juga mengajarkan kedisplinan nilai-nilai agama kepada anakku. Dimulai dari hal sederhana, menjalankan sholat 5 waktu, mengaji 3 ayat setelah sholat, tidak berkata bohong, tidak berbuat curang dan iri kepada orang lain. Berlaku baik dan tidak menyakiti orang lain dengan sengaja.
Dari ketiga anakku dan seisi rumah ternyata Michikolah (anak bungsuku yang berusia 7 tahun) yang paling disiplin menjalankan sholat 5 waktu. Michikolah yang menjadi satpam setiap azan berbunyi dan mengingatkan kepada kita semua,"Sudah sholat belum? Sudah ngaji belum? Cepetan jangan main game terus! Ayoo mama jangan dagang terus," Subhanallah, putri kecilku tumbuh menjadi anak yang sholehah.
Seperti percakapanku siang ini dengannya,
"Mama, kepalaku pusing banget,"Â Kata Michiko masih menggunakan mukena sehabis sholat
"Ya udah, kalau pusing Michiko tidur aja, supaya cepet sembuh," saranku padanya
"Tapi aku belum mengaji, Ma. Bagaimana aku bisa tidur,"
"Ya nggak papa, ngajinya ditunda dulu. Nggak usah ngaji dulu..
"Enggak mau ma, meskipun aku sakit dan kepalaku pusing banget aku harus tetap mengaji. Supaya aku lancar dan pintar baca Alquran. Kalau aku nggak pinter mengaji, nanti siapa yang nolongin mama kalau mama masuk neraka,"
"What?!? Nolongin mama pas masuk neraka? (Haduhhh...aku diam sesaat, nggak bisa ngomong!)
Lalu tersenyum kecut memeluk sambil menjewer telingannya. Kami tertawa terbahak-bahak bersama-sama. Ampun deh Michiko, bisa saja membuatku tersanjung tapi juga mengejekku.
Semoga aku bisa menjadi lebih baik dan menjadi panutan bagi anak-anakku. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H