Dan beberapa menit kemudian aku terdiam. Tidak tahu mau omong apa, karena aku sendiri tak tahu kenapa motorku bisa begitu saja melaju kemari. Lalu dia mulai bicara, dan aku menjawab, menimpali, tertawa pada leluconnya, terinspirasi oleh idealismenya. Dia bicara soal musik yang digemarinya, soal puisi-puisi yang ditulisnya, soal buku-buku yang dibacanya, soal proyeknya mengajar anak-anak desa, soal politik negeri ini, soal mimpinya membuat perpustakaan keliling. Aku bicara soal film yang kusukai, soal kuliahku yang mentok entah kemana, soal proyek penulisan naskah dramaku yang macet, tentang perjalanan-perjalanan yang kulakukan di masa lalu ke berbagai kota dengan mengendarai motor. Dan tentang keluargaku, ayahku si perantau yang tak segan-segan merotan anak-anaknya yang nakal, ibuku yang lembut hati dan selalu khawatir kalau aku naik gunung atau pulang larut, tentang adik-adikku yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Dan tentang kisahku dengan Via yang hingga kini aku masih tetap terluka. Soal film, kuliah, proyek menulis naskah, dan perjalanan mungkin adalah hal-hal yang aku anggap wajar untuk kuceritakan, terlebih untuk mengatasi kekakuan pembicaraan dengannya. Tapi entah kenapa, aku ringan saja berbagi tentang keluargaku. Dan rasanya nyaman saja bicara dengannya soal Via.
Enam jam berlalu secepat angin. Hingga tengah malam.
Masa Depan
Aku menginginkan dia. Tak pernah ada yang lain sejak pertemuan terakhir kami. Dan malam ini aku akan menyatakan bahwa aku mencintai dia. Bukan sebagai Ibu Rena, tetapi sebagai Rena saja. Perempuan yang kukagumi. Perempuan yang mengertiku. Perempuanku.
Malam ini akan kuakhiri segala keragu-raguan yang kujalani selama lima tahun belakangan. Aku bahkan tak perduli kalau perasaanku tak berbalas. Itu urusan belakangan. Mungkin jawaban dia tak akan sama dengan jawabanku, tapi itulah hidup, sebagaimana dia katakan di kelas pertamanya denganku.
Aku tahu kau pasti berpikir bahwa aku telah gila. Ada jarak umur sepuluh tahun di antara kami. Belum lagi kau pasti mendebatku bahwa tak seharusnya seorang bekas mahasiswa mencintai dosennya. Tapi aku tak perduli.
Cinta takkan salah. Begitu dendang Band Kahitna. Begitu pula kumempercayainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H