Semester baru saja mulai hari ini, tapi aku sudah terlibat masalah. Baru dua mata kuliah yang kudapat dari jatah delapan mata kuliah yang harusnya aku ikuti. Sistem registrasi mata kuliah yang menyebalkan dan tidak efisien serta jumlah dosen yang tidak banyak membuat banyak mahasiswa bernasib sama sepertiku: belum dapat kelas. Tampaknya yang berlaku setiap registrasi adalah homo homini lupus alias orang-orang saling menerkam macam serigala saja. Siapa kalah cepat, sudah pasti tidak dapat kelas.
Ada SMS masuk. Dari Dea, ketua Senat Mahasiswa (SEMA) fakultasku. Isinya mengabarkan bahwa ada kelas yang baru dibuka untuk mata kuliah Academic Writing. Diajar oleh Ibu Rena. Dia mengajakku untuk datang ke pertemuan pertama pagi ini jam 9.
Hmm, Ibu Rena. Aku belum pernah mengambil mata kuliah apa pun yang diajarnya. Tapi dari berita-berita di luaran, dosen yang satu ini ketat dan berat. Sudah beberapa teman yang curhat kepadaku memberitakan bahwa mereka mesti bekerja ekstra keras untuk bisa mengikuti tugas-tugasnya yang 'ajaib-ajaib'. Bahkan Via, mantanku, pernah menangis-nangis kepadaku menceritakan bahwa dia hanya mendapatkan nilai B sedangkan rekan satu kelompoknya yang lain mendapatkan nilai A. Padahal menurut Via, dia sudah bekerja mati-matian menyelesaikan tugas-tugasnya.
Tapi aku tidak punya pilihan lain. Ini bukan saatnya pilih-pilih. Aku harus mendapat kelas. Titik. Kalau tidak, uang kuliah untuk delapan mata kuliah akan sia-sia sebagian kalau aku cuma dapat dua kelas. Aku melangkah ke laboratorium komputer di gedung perpustakaan di mana kelas akan diselenggarakan.
Di depan lab, kujumpai para aktifis Lembaga Kemahasiswaan (LK). Mereka semua masih menunggu Ibu Rena datang. Tampaknya mereka semua bernasib sama denganku, belum mendapat mata kuliah yang diinginkan.
"Eh, Ucok, belum dapat kelas juga ya?" sapa Dea, si ketua SEMA.
"Iya nih, baru dua. Terpaksa ikut kelas ini."
"Terpaksa? Kok terpaksa?"
"Iyalah. Dengar-dengar Ibu Rena orangnya ketat kan?"
"Ah, kamu salah info, Cok. Mbak Rena itu orangnya enak banget dan pengertian banget." bantah Dea. Hm, Mbak Rena? Mbak? Akrab sekali Dea menyebut dosen satu itu. Macam teman saja.
Pikiranku terpotong dengan kehadiran Ibu Rena. Seperti biasa, lubang telinganya ditutup headphone dan kepalanya bergoyang-goyang. Rupanya dia sedang mendengarkan musik lewat headphone. Tampaknya dia tak hirau dengan sekelilingnya. Sejak pertama masuk kuliah, aku lihat memang dosen satu ini agak 'nyeleneh'. Salah satunya ya soal headphone itu. Dan salah lainnya adalah soal pakaian. Belum pernah aku melihat dia berpakaian formal. Seperti kali ini, dia cuma mengenakan kaos polo hijau tua, celana jeans yang sudah pudar, dan sepatu kets. Cuma sekali aku melihat dia mengenakan batik resmi dosen dan celana kain ketika kami semua dilantik menjadi fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan dan dia menjadi koordinator bidang kemahasiswaan dua minggu yang lalu. Buat orang-orang yang belum kenal siapa dia, pasti mengira dia adalah seorang mahasiswa dan bukan dosen. Tapi memang wajahnya awet muda, dengan ekspresi wajah yang mencerminkan usia sekitar 30-an tahun. Dan masih membujang pula. Sehingga masih pantas bergaya ala mahasiswa.
Dia melaju begitu saja melewati kami, dengan gaya berjalannya yang memang buat kami luar biasa cepat. Lalu membuka pintu lab dan menuju ke meja dosen. Kami buru-buru masuk dan mencari tempat duduk yang kosong. Sementara itu, Ibu Rena langsung mengeluarkan laptop dari tas ransel hitamnya. Sejenak kulihat dengan cueknya dia berjongkok di lantai menyambungkan kabel power, LCD, dan jaringan ke panel listrik di bawah meja. Alamak, memang cuek sekali dosen ini!
Begitu laptop menyala, terdengarlah alunan lagu dari pengeras suara laptop. Hmm, aku kenal lagu ini. Ini Stupify milik grup band Disturbed. Wah, gila, musik rock yang dipilihnya. Dan di awal kuliah. Yang bener aja! Rupanya untuk membunuh waktu sementara dia menyiapkan bahan-bahan mata kuliahnya, dia memperdengarkan lagu untuk mahasiswa. OK, naik satu poin nilai dia di mataku.