Tahu aja dia. Benar-benar keturunan cenayang. Baru kali ini aku mendapati seseorang yang bisa menebak sifatku dengan tingkat akurasi yang tepat sasaran. Selain mamiku tentu saja. Kalau mami sih pasti mengerti luar dalam sifat anak-anaknya, wong sembilan bulan sepuluh hari plus dua puluh satu tahun lamanya mengurusi aku. Jangan-jangan dia semacam 'mami' baru buatku?
Aku: Enggak kok, Bu. Ini baru di jalan.
Sent.
Aduh, asal banget alasanku. Tapi apa boleh buat. Aku paling segan bicara yang pribadi-pribadi begini. Pribadi! Artinya hanya untuk konsumsiku sendiri. Teman-teman dekat saja belum tentu tahu soal beginian. Ya mereka tahu soal Via, tapi soal bagaimana aku berdarah-darah begini dan tenggelam dalam masa lalu itu urusan dalam negeriku. Kalau teman-teman dekat saja tidak tahu, masak dia harus tahu. Tapi kemampuannya menebak sifatku yang ala cenayang itu cukup mengesankanku.
Masa Depan
Aku menghirup napas dalam-dalam. Sudah cukup setengah jam ragu-ragu. Sudah cukup pula lima batang rokok putih kuhirup, walaupun tak sampai tuntas. It's now or never. Lima tahun sudah cukup panjang untuk beragu-ragu.
Kupencet namanya dalam daftar kontak.
Tersambung. Berdering. Tidak ada lagi jalan kembali. This is it.
Dia: Halo.
Hm, aku hapal nadanya yang ini. Nada dingin, impersonal. Nada yang dia gunakan kalau nomor pemanggil tidak dikenalinya. Tentu saja dia tak mengenali nomor ponselku. Waktu lima tahun tentu tidak pendek dan banyak yang telah terjadi selama itu sehingga nomorku pun pasti tak disimpannya. Lagian siapa sih aku ini sehingga membuat dia harus menghabiskan jatah kontak di ponselnya?
Aku: Halo.
Dia: Eh, Abang! Apa kabar?
Hm, dia masih ingat suaraku. Dan panggilan khususnya kepadaku. Abang. Nama panggilan yang diberikannya sejak pertama kami bertemu dulu.
Masa Lalu