Itulah salah satu alasan saya menyebut Dana Desa sebagai ASI.
Dana Desa adalah salah program Presiden Jokowi untuk membangun Indonesia dari desa. Ekspektasi Jokowi adalah dengan adanya Dana Desa, berbagai persoalan pelik seperti kemiskinan dapat diatasi, kemudian ketimpangan sosial tidak lagi terlihat di Indonesia.
Namun, siapa sangka? Program yang bertujuan baik ini justru mengalami beberapa persoalan serius. Akhirnya kesan dari program ini adalah menghambur uang tetapi tidak ada dampak signifikan yang dirasakan masyarakat.
Memang beberapa desa dapat memanfaatkan dana desa dengan baik tetapi dana desa triliunan rupiah itu masih dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan diri sendiri. Sebut saja desa fiktif yang selama ini meraup uang miliaran rupiah, belum lagi kepala desa yang korup tapi masih dibiarkan berkeliaran.
Namun, Persoalan Dana Desa bukan hanya potensi korupsi, tetapi juga tak dimanfaatkan dengan baik dan tepat. Seperti yang disebut penulis bahwa masih terkesan menghambur uang tanpa memikirkan dampak positif dari pengelolaan anggaran tersebut.
Program Dana Desa ada sejak Jokowi menjabat periode pertama, sejak 2014 hingga saat ini 2021. Jika dihitung-hitung, setiap desa setidaknya telah memperoleh tujuh miliar rupiah untuk membangun desanya. Jumlah ini masih bisa lebih jika jumlah penduduknya cukup banyak.
Jika uang sebanyak ini belum memberikan dampak perubahan yang signifikan di desa maka desa itu sedang lumpuh. Desa itu ibarat bayi yang digenjot dengan Air Susu Ibu (ASI) Dana Desa agar desa tumbuh mandiri dan mencari makan sendiri tapi tidak bermanfaat sama sekali.
Jadi, jika ada desa yang belum mencari makan sekali lagi desa itu sedang lumpuh. Desa belum mampu berjalan sendiri karena dana yang diperoleh dibuang begitu saja, tidak dikonsumsi dengan tepat sehingga tidak bermanfaat bagi desa itu sendiri.
Bagaimana Seharusnya Menjadi Kepala Desa?
Menjadi kepala desa bukan sekedar menjadi orang baik, bukan juga sekedar menghipnotis orang dengan kata-kata, bukan sekedar hebat dalam urusan administrasi tetapi menjadi kepala desa harus memiliki visi yang lahir dari hati bukan dari tulisan di atas kertas di saat kampanye.
Umumnya, masyarakat kita belum mampu menilai kepala desa berdasarkan visi dan misi yang lahir dari hati. Karena itu, orang yang memiliki hati untuk melayani dan kemampuan untuk mengeksekusi programlah yang seharusnya maju sebagai calon kepala desa.
Agar ketika masyarakat tak mampu menilai, suaranya tidak jatuh pada orang yang buruk. Tapi sayangnya harus diakui bahwa mendapatkan orang dengan niat yang tulus tak semudah memilih batu.
Penulis pernah berdiskusi dengan salah satu pejabat kecamatan di daerah penulis terkait dengan pengelolaan anggaran dana desa. Pada titik terakhir kami menyimpulkan bahwa tidak sedikit orang ingin menjadi kepala desa karena Dana Desa 1 Miliar, hanya segelintir yang berpikir bahwa kepala desa adalah sebuah tanggung jawab berat yang harus dijalankan dengan hati.
Kepala desa harus terbuka dan berdiskusi dengan banyak stakeholder untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan di desa, masalah apa yang sedang dihadapi? Potensi desa juga harus diidentifikasi, bagaimana mengelolanya untuk mengatasi persoalan-persoalan itu?
Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, begitupun di desa, setiap desa memiliki kelebihan dan kelemahan. Tetapi bagaimana memanfaatkan kelebihan itu untuk berjalan maju yang menjadi sulit untuk dilakukan selama ini.
Kepala desa harusnya memiliki visi dan misi yang kontekstual dengan culture dan nature-nya. Bukan visi dan misi 'copy-paste' dari desa tetangga apalagi dari daerah lain. Jika ada yang demikian maka itu program dana desa tidak akan memiliki dampak apa-apa.
Kepala desa harus menyadari bahwa membangun desa tidak bisa dilakukan seorang diri. Itulah kenapa dalam peraturan perundang-undangan tentang desa diwajibkan untuk dilakukan musyawarah desa.
Persoalan-persoalan di desa adalah persoalan bersama yang harus diselesaikan bersama pula.
Tak berhenti disini, kepala desa juga harus memahami sites politik nasional. Kapan dana desa itu akan berhenti? Negara ini bukan milik Jokowi yang akan bertahan dengan programnya, lagipula Dana Desa tidak akan abadi, suatu saat akan dihentikan.
Itulah salah satu alasan saya menyebut Dana Desa sebagai ASI. Hanya diberikan sewaktu bayi, ketika beranjak dewasa, ASI akan dihentikan. Disinilah Kepala Desa harus paham untuk memandirikan desanya sebelum Dana Desa dihentikan.Â
Realita di daerah penulis
Realita di lapangan berbicara lain, banyak program yang tidak menjawab persoalan. Secara umum, pemilihan kepala desa di daerah penulis belum dilakukan secara cerdas. Masyarakat cenderung memilih karena faktor kekerabatan dan hubungan darah tanpa memperhatikan kemampuan sebagai faktor utama menjadi seorang kepala desa.
Memilih dengan penilaian kekerabatan dan hubungan darah berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak mampu, pemimpin yang korupsi dan nepotisme. Dengan kecerdasan standarnya, pengelolaan keuangan akan cenderung hanya untuk menghabiskan dana tanpa tujuan.
Baru-baru ini pemerintah daerah melakukan seleksi perangkat desa untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia di pemerintah desa tetapi justru tidak memberikan dampak yang signifikan karena praktek suap masih terjadi. Pemilihan perangkat desa tidak lagi objektif tetapi seberapa banyak uang yang ditawarkan.
Maka kemudian kita menemukan banyak perangkat desa yang tidak mampu melakukan tugasnya, bahkan kemampuan mengoperasikan komputer pun tidak bisa sama sekali, maka jangan heran, itu realita yang sangat dihadapi meskipun disesali.
Jadi upaya perbaikan kompetensi aparat desa di NTT secara khusus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (daerah penulis) adalah sebuah pembohongan publik. Kenyataannya, pada tahun 2021 banyak desa di NTT yang belum mencairkan dana desa hingga bulan Agustus padahal pencairan dana pada pertengahan tahun harusnya mencapai 60 persen.
Ketidakmampuan bisa memunculkan prinsip yang penting menghabiskan dana dalam desain pengajuan anggaran, tetapi dana itu tidak tahu dikemanakan. Hal ini bisa memicu terjadinya korupsi besar-besaran tanpa disadari karena semua laporan pertanggungjawaban bersifat fiktif.
Asal ada program, efektif atau tidak merupakan urusan administrasi. Inilah kesalahan pemerintah kita. Lebih mengutamakan verifikasi secara administrasi tetapi bukti fisik dan kualitasnya dinomorduakan bahkan tidak dilirik sama sekali.
Pemerintah daerah tidak melakukan verifikasi dan kontrol yang ketat dari desain program. Apakah menjawab persoalan-persoalan atau tidak? Program kerja yang diajukan tepat atau tidak? Program yang dikerjakan selesai atau tidak? Follow up benar-benar diabaikan.
Maka kemudian adanya dugaan korupsi di desa merupakan hal yang wajar karena tidak ada verifikasi yang ketat dari pemerintah kabupaten. Inspektorat dan BPMPD yang bertugas mengontrol keuangan dan administrasi desa juga terkesan melindungi desa dari berbagai macam kejanggalan.
Sehingga ketika KPK memperbolehkan korupsi dana desa dibawah 100 juta untuk dibebaskan, penulis sangat menyayangkan karena bibit-bibit korupsi itu dibiarkan berhamburan dan kita menunggu waktu tumbuh menjadi besar untuk menghancurkan negara kita.
Kupang, 13 Desember 2021
Neno Anderias Salukh
WARNING:
Tulisan ini lahir dari pantauan penulis selama ini di desa dan hanya diperbolehkan tayang di Kompasiana. Repost di website lain tanpa izin penulis adalah pelanggaran terhadap hak cipta yang dilindungi undang-undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H