Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dana Desa, ASI yang Dibuang-buang untuk NTT

14 Desember 2021   11:36 Diperbarui: 14 Desember 2021   13:49 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realita di lapangan berbicara lain, banyak program yang tidak menjawab persoalan. Secara umum, pemilihan kepala desa di daerah penulis belum dilakukan secara cerdas. Masyarakat cenderung memilih karena faktor kekerabatan dan hubungan darah tanpa memperhatikan kemampuan sebagai faktor utama menjadi seorang kepala desa.

Memilih dengan penilaian kekerabatan dan hubungan darah berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak mampu, pemimpin yang korupsi dan nepotisme. Dengan kecerdasan standarnya, pengelolaan keuangan akan cenderung hanya untuk menghabiskan dana tanpa tujuan.

Baru-baru ini pemerintah daerah melakukan seleksi perangkat desa untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia di pemerintah desa tetapi justru tidak memberikan dampak yang signifikan karena praktek suap masih terjadi. Pemilihan perangkat desa tidak lagi objektif tetapi seberapa banyak uang yang ditawarkan.

Maka kemudian kita menemukan banyak perangkat desa yang tidak mampu melakukan tugasnya, bahkan kemampuan mengoperasikan komputer pun tidak bisa sama sekali, maka jangan heran, itu realita yang sangat dihadapi meskipun disesali.

Jadi upaya perbaikan kompetensi aparat desa di NTT secara khusus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (daerah penulis) adalah sebuah pembohongan publik. Kenyataannya, pada tahun 2021 banyak desa di NTT yang belum mencairkan dana desa hingga bulan Agustus padahal pencairan dana pada pertengahan tahun harusnya mencapai 60 persen.

Ketidakmampuan bisa memunculkan prinsip yang penting menghabiskan dana dalam desain pengajuan anggaran, tetapi dana itu tidak tahu dikemanakan. Hal ini bisa memicu terjadinya korupsi besar-besaran tanpa disadari karena semua laporan pertanggungjawaban bersifat fiktif.

Asal ada program, efektif atau tidak merupakan urusan administrasi. Inilah kesalahan pemerintah kita. Lebih mengutamakan verifikasi secara administrasi tetapi bukti fisik dan kualitasnya dinomorduakan bahkan tidak dilirik sama sekali.

Pemerintah daerah tidak melakukan verifikasi dan kontrol yang ketat dari desain program. Apakah menjawab persoalan-persoalan atau tidak? Program kerja yang diajukan tepat atau tidak? Program yang dikerjakan selesai atau tidak? Follow up benar-benar diabaikan.

Maka kemudian adanya dugaan korupsi di desa merupakan hal yang wajar karena tidak ada verifikasi yang ketat dari pemerintah kabupaten. Inspektorat dan BPMPD yang bertugas mengontrol keuangan dan administrasi desa juga terkesan melindungi desa dari berbagai macam kejanggalan.

Sehingga ketika KPK memperbolehkan korupsi dana desa dibawah 100 juta untuk dibebaskan, penulis sangat menyayangkan karena bibit-bibit korupsi itu dibiarkan berhamburan dan kita menunggu waktu tumbuh menjadi besar untuk menghancurkan negara kita.

Kupang, 13 Desember 2021
Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun