Pada tahun 2020, pertengahan tahun, bupati sempat mengancam 34 desa yang belum memasuki Laporan Pertanggungjawaban Keuangan 2019. Tahun 2021, hingga awal September, terdapat belasan desa yang belum memasukkan laporan pertanggungjawaban keuangan 2020.
Artinya, keterlambatan laporan semacam ini akan berantai dari tahun ke tahun sehingga pencairan dana desa tidak sesuai dengan ekspektasi. Dana desa selalu dicairkan pada akhir tahun. Tentunya ini akan mempengaruhi proses dan kerja-kerja di lapangan menjadi tidak efektif.Â
Lalu solusinya seperti apa?
Terdapat dua jenis pola pikir analitis manusia dalam menyelesaikan masalah. Pertama, cara berpikir fokus (konvergen) dan cara berpikir kreatif (divergen).
Dalam Encyclopedia of Human Behavior (Edisi Kedua), V. Drago dan KM Heilman berpandangan bahwa berpikir konvergen terkait dengan melihat dan mengenali kesamaan setiap fenomena yang tampak berbeda dan menggabungkan dua atau lebih pengamatan atau ide yang berbeda menjadi sebuah kesatuan informasi. Sederhananya, berpikir konvergen itu seperti menyusun sebuah puzzle (problem solver).
Sedangkan berpikir divergen dalam bukunya Mark A. Runco berjudul Creativity (Edisi Kedua) mengatakan bahwa berpikir divergen tidak identik dengan berpikir kreatif, tetapi orang yang berpikir divergen akan memberi tahu kita sesuatu tentang proses kognitif yang terkadang mengarah pada ide dan solusi orisinal. Karena itu, orang yang berpikir divergen tetap dijuluki sebagai orang yang berkreatifitas tinggi.
Menurut Punto Wicaksono dalam artikelnya Konsep Konvergen dan Divergen dalam Berpikir Analitis, ia mengatakan bahwa berpikir konvergen mencari solusi yang konkret sedangkan berpikir divergen mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi untuk menghasilkan ide brilian dan kreatif.
Nah, dalam pemerintah desa terdiri dari kepala desa, perangkat desa dan unsur-unsur desa yang memiliki pemikiran yang berbeda. Tentunya ini adalah potensi yang harusnya dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam upaya penanganan kemiskinan.
Pemerintah daerah harusnya menyediakan pelatihan yang berkaitan dengan ketrampilan dan sumber daya manusia agar tokoh-tokoh yang berperan penting dalam pengelolaan dana desa memahami bagaimana mengidentifikasi masalah lalu menyediakan solusi sebagai jawaban terhadap masalah.
Sebenarnya menarik juga, baru-baru ini pemerintah pusat menebar wacana tentang studi tambahan untuk kepala desa dan perangkat desa. Akan tetapi, lebih tepatnya pendidikan yang diterapkan adalah semacam pelatihan atau pendidikan vokasi karena gelar bukan sebuah persoalan tetapi otak adalah persoalannya.
Penulis akan sangat mendukung jika pemerintah daerah memiliki rencana yang lain dalam memberdayakan kepala desa dan perangkat desa sebagai aktor central dalam upaya penanganan kemiskinan. Karena yang menjadi titik berat penulis disini adalah pemberdayaan aktor-aktor desa agar memaksimalkan tupoksi yang sudah dipercayakan negara.