Berharap kepada Pemerintah Daerah bekerja sendiri dalam upaya penanganan kemiskinan ekstrem di NTT sangatlah mustahil. Ini bukan pernyataan pesimis penulis atau rasa skeptis terhadap usaha pemerintah tetapi masalah kemiskinan adalah masalah kolektif yang harus diselesaikan secara kolektif pula.
Karena itu, pemerintah desa sebagai unit wilayah yang mendapat perhatian istimewah dari pemerintah pusat seharusnya berperan aktif dan bila perlu menjadi aktor utama dalam upaya penanganan kemiskinan.Â
Alasannya adalah pemerintah desa bersentuhan langsung dengan rakyat dan lebih mengenal karakteristik wilayah. Pemerintah desa lebih memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang perlu dikembangkan dari potensi-potensi yang ada.
Sejatinya aliran dana besar-besaran mengalir ke rekening desa menunjukkan kesadaran pemerintah pusat tentang kekuatan yang dimiliki oleh pemerintah desa untuk membasmi kemiskinan. Dana desa yang menyentuh miliaran rupiah itu diperuntukkan untuk semua aspek, terutama pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Namun melihat kemiskinan ekstrim sebagai sebuah realita di lapangan, seakan menunjukkan ketidakmampuan pemerintah desa mengidentifikasi masalah, memahami masalah dan membangun relasi dengan pemerintah daerah untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.
Karena itu, bagi penulis pemerintah desa harus diberdayakan untuk membantu pemerintah daerah dalam upaya penanganan kemiskinan ekstrem sehingga target 0 persen pada tahun 2024 dapat tercapai.
Sebenarnya hal ini secara tersirat disampaikan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin kepada hubernur dan para bupati pada saat kunjungannya di NTT. Bahwa perencanaan dan penganggaran program penanganan kemiskinan ekstrem dalam APBD masing-masing sesuai dengan karakteristik miskin ekstrem di wilayah masing-masing.
Maka akan lebih tepat jika desa memiliki program penanganan kemiskinan karena sekali lagi penulis tegaskan bahwa pemerintah desa lebih memahami karakteristik masyarakat yang dikategorikan sebagai penduduk miskin absolut.
Namun, sebelum menyentuh progam, hal pertama yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah adalah sumber daya manusia di pemerintah desa. Karena kita tidak dapat pungkiri bahwa rata-rata pemerintah desa di NTT belum memiliki kemampuan dalam mengelola keuangan secara tepat untuk menjawab persoalan-persoalan komunitas lokal.
Memang menarik, ketika salah satu pemerintah daerah di NTT, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang penulis maksudkan, pada beberapa tahun lalu menerapkan seleksi masuk perangkat desa sebagai upaya perbaikan sumber daya manusia desa. Tetapi dalam prakteknya, suap dan nepotisme masih mewarnai seleksi sehingga sumber daya manusia di desa masih diragukan.
Pada tahun 2020, pertengahan tahun, bupati sempat mengancam 34 desa yang belum memasuki Laporan Pertanggungjawaban Keuangan 2019. Tahun 2021, hingga awal September, terdapat belasan desa yang belum memasukkan laporan pertanggungjawaban keuangan 2020.
Artinya, keterlambatan laporan semacam ini akan berantai dari tahun ke tahun sehingga pencairan dana desa tidak sesuai dengan ekspektasi. Dana desa selalu dicairkan pada akhir tahun. Tentunya ini akan mempengaruhi proses dan kerja-kerja di lapangan menjadi tidak efektif.Â
Lalu solusinya seperti apa?
Terdapat dua jenis pola pikir analitis manusia dalam menyelesaikan masalah. Pertama, cara berpikir fokus (konvergen) dan cara berpikir kreatif (divergen).
Dalam Encyclopedia of Human Behavior (Edisi Kedua), V. Drago dan KM Heilman berpandangan bahwa berpikir konvergen terkait dengan melihat dan mengenali kesamaan setiap fenomena yang tampak berbeda dan menggabungkan dua atau lebih pengamatan atau ide yang berbeda menjadi sebuah kesatuan informasi. Sederhananya, berpikir konvergen itu seperti menyusun sebuah puzzle (problem solver).
Sedangkan berpikir divergen dalam bukunya Mark A. Runco berjudul Creativity (Edisi Kedua) mengatakan bahwa berpikir divergen tidak identik dengan berpikir kreatif, tetapi orang yang berpikir divergen akan memberi tahu kita sesuatu tentang proses kognitif yang terkadang mengarah pada ide dan solusi orisinal. Karena itu, orang yang berpikir divergen tetap dijuluki sebagai orang yang berkreatifitas tinggi.
Menurut Punto Wicaksono dalam artikelnya Konsep Konvergen dan Divergen dalam Berpikir Analitis, ia mengatakan bahwa berpikir konvergen mencari solusi yang konkret sedangkan berpikir divergen mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi untuk menghasilkan ide brilian dan kreatif.
Nah, dalam pemerintah desa terdiri dari kepala desa, perangkat desa dan unsur-unsur desa yang memiliki pemikiran yang berbeda. Tentunya ini adalah potensi yang harusnya dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam upaya penanganan kemiskinan.
Pemerintah daerah harusnya menyediakan pelatihan yang berkaitan dengan ketrampilan dan sumber daya manusia agar tokoh-tokoh yang berperan penting dalam pengelolaan dana desa memahami bagaimana mengidentifikasi masalah lalu menyediakan solusi sebagai jawaban terhadap masalah.
Sebenarnya menarik juga, baru-baru ini pemerintah pusat menebar wacana tentang studi tambahan untuk kepala desa dan perangkat desa. Akan tetapi, lebih tepatnya pendidikan yang diterapkan adalah semacam pelatihan atau pendidikan vokasi karena gelar bukan sebuah persoalan tetapi otak adalah persoalannya.
Penulis akan sangat mendukung jika pemerintah daerah memiliki rencana yang lain dalam memberdayakan kepala desa dan perangkat desa sebagai aktor central dalam upaya penanganan kemiskinan. Karena yang menjadi titik berat penulis disini adalah pemberdayaan aktor-aktor desa agar memaksimalkan tupoksi yang sudah dipercayakan negara.
Salam!!!
Bacaan terkait:
Konsep Konvergen dan Divergen dalam Berpikir Analitis
2 Strategi Kemnaker Tuntaskan Kemiskinan di NTT
Belum Selesai SPJ Dana Desa Tahun 2020, 7 Desa di TTS Segera Diaudit, Ini Penjelasannya
Bupati TTS Batal Copot Kepala Desa yang Belum Masukkan SPJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H