Jika di kemudian hari, perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya memutuskan untuk memiliki suami yang baru maka yang berhak sebagai orang tua perempuan adalah orang tua atau keluarga dari suami pertamanya bukan orang tua kandungnya.
Salah satu pemikiran orang Dawan tentang perkawinan adat yang tak lekang oleh waktu adalah membawa perempuan keluar dari klannya dan masuk atau bergabung dengan klan suaminya. Adalah sebuah kehormatan bagi perempuan dan laki-laki jika perempuan dibawah keluar dengan iringan gong dan tari-tarian.
Akan tetapi, ritual perkawinan adat tidak terbatas pada euforia tersebut. Dasar pemikiran membawa perempuan keluar dan bergabung dengan klan suami memperpanjang daftar ritual yang patut diselesaikan dalam sebuah proses ritual kawin-mawin.
Tradisi perkawinan adat Suku Dawan di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur ini memiliki beberapa tahapan. Penulis pernah menulis tentang salah satu tahapan tradisi perkawinan yang cukup keramat yaitu "Sen Nobif".
Baca: Keramatnya "Sen Nobif", Bagian Tradisi Perkawinan Adat Suku Dawan (Timor)
Di Sub Suku Amanuban, pada saat pelaksanaan "Sen Nobif", salah satu ritual yang perlu dilakukan adalah "Kaus Nono ma Saeb Nono". Sedangkan di beberapa sub suku, Kaus Nono ma Saeb Nono dilakukan sebelum perempuan diboyong ke rumah laki-laki.
Umumnya, orang-orang menyebut ritual tersebut dengan "Kaus Nono". Entah apa alasannya tetapi sejauh yang diamati oleh penulis, penyebutan Kaus Nono ma Saeb Nono terlalu panjang sehingga orang-orang lebih akrab atau familiar dengan sebutan Kaus Nono yang lebih singkat.
Kaus Nono ma Saeb Nono terdiri dari tiga kata yaitu Kaus, Saeb dan Nono. Kaus berarti mencopot dan menurunkan, Nono dalam konteks ini berarti klan atau marga dan Saeb berarti mengangkat dari bawa dan memasang pada posisi paling atas. Sedangkan ma adalah kata penghubung yang berarti dan.
Secara harafiah, Kaus Nono ma Saeb Nono berarti mencopot marga dan memasang marga. Artinya mencopot dan menurunkan marga perempuan kemudian mengangkat dan memasang marga laki-laki kepada perempuan. Ini adalah hukum yang ditaati dalam budaya patriarki.
Kaus Nono ma Saeb Nono adalah sebuah kesatuan yang tidak dipisahkan seperti hukum sebab-akibat. Jika ada Kaus maka ada Saeb, ketika marga perempuan dicopot maka marga laki-laki harus menjadi pengganti sehingga secara adat perempuan masuk dalam klan laki-laki.
Hal tersebut atas dasar kepercayaan masyarakat Dawan yang menganggap bahwa seorang manusia tidak hadir begitu saja tetapi berasal dari klan tertentu sehingga penggunaan klan atau marga sebagai nama belakang bersifat wajib. Penggunaan klan juga memudahkan orang Dawan dalam mengidentifikasi kerabat yang masih memiliki hubungan darah.Â
Di Sub Suku Amanuban, Kaus Nono ma Saeb Nono dilakukan oleh orang tua (ayah) atau Atoin Amaf (Baca: Atoin Amaf) dengan meletakkan sebuah uang koin (logam putih) yang dikenal dengan sebutan "lapeo" pada "Oko Mama". Lalu dengan simbolis, oko mama yang berisi uang koin tersebut diturunkan dari kepala pengantin perempuan ke bahunya sambil orang tua berkata demikian:
Au kaus ain ho kanaf ma bonif na ko ho fufum ho nakam hen saun neu ho benam ho hanu
Kemudian dengan "lapeo" yang baru diletakkan dalam oko mama, orang tua meletakkannya pada kepala pengantin perempuan sambil berkata demikian:
Au Saeba na ...... in kanaf ini bonif neu ho fufum ho nakam he nati antek ko mnak .....
Setelah ritual tersebut, nama belakang perempuan akan mengikuti nama belakang laki-laki yang akan bertambah menjadi dua. Misalnya perempuan berasal dari Klan Salukh dan suaminya berasal dari Klan Nope maka nama belakangnya menjadi Nope-Salukh.
Di beberapa sub suku, ritual tersebut sedikit berbeda. Oko mama yang berisi lapeo tersebut diturunkan dari kepala pengantin perempuan tetapi tidak meletakkannya pada bahu perempuan. Artinya bahwa perempuan benar-benar terlepas dari klannya. Misalnya perempuan berasal dari Klan Salukh dan suaminya berasal dari Klan Nope maka nama belakangnya menjadi Nope (Salukh dihilangkan).
Di Amanuban, marga perempuan tidak dicopot tetapi diletakkan dibawah marga laki-laki. Hal ini didasarkan pada status perempuan yang masih memiliki ikatan adat dengan Atoin Amaf (saudara laki-lakinya). Seperti ritual adat "Kusa Nakaf" yang harus dilakukan oleh saudara laki-lakinya.
Perlu diketahui, ritual ini atas dasar budaya patrilineal yang bukan hanya mewajibkan nama belakang anak mengikuti marga atau klan ayah tetapi istri juga diwajibkan untuk mengikuti marga atau klan suami.
Uniknya, ritual ini bersifat mengikat yang tidak memungkinkan terjadinya perceraian. Akan tetapi, jika suami pergi meninggalkan istrinya maka istri memiliki hak mutlak atau hak istimewa dalam menguasai harta benda (tanah, rumah, mamar dan sebagainya) suaminya itu. Bahkan, meskipun suaminya menikahi perempuan yang lain, suaminya tidak memiliki secuil hak untuk itu.
Dalam kasus apapun, perempuan tidak bisa kembali pada orangtuanya karena sudah masuk pada klan laki-laki. Jika perempuan ditinggal mati oleh suami, perempuan tidak berani kembali juga kepada orangtuanya. Ia akan terus bertahan hidup melewati suka duka bersama kerabat suaminya.
Jika di kemudian hari, perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya memutuskan untuk memiliki suami yang baru maka yang berhak sebagai orang tua perempuan adalah orang tua atau keluarga dari suami pertamanya bukan orang tua kandungnya.
Itulah budaya Saeb Nono ma Kaus Nono Suku Dawan di Pulau Timor.
Catatan: Penulis adalah orang Amanuban yang menulis menggunakan dialek Amanuban.
Salam!!!
Neno Anderias Salukh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H