Hal tersebut atas dasar kepercayaan masyarakat Dawan yang menganggap bahwa seorang manusia tidak hadir begitu saja tetapi berasal dari klan tertentu sehingga penggunaan klan atau marga sebagai nama belakang bersifat wajib. Penggunaan klan juga memudahkan orang Dawan dalam mengidentifikasi kerabat yang masih memiliki hubungan darah.Â
Di Sub Suku Amanuban, Kaus Nono ma Saeb Nono dilakukan oleh orang tua (ayah) atau Atoin Amaf (Baca: Atoin Amaf) dengan meletakkan sebuah uang koin (logam putih) yang dikenal dengan sebutan "lapeo" pada "Oko Mama". Lalu dengan simbolis, oko mama yang berisi uang koin tersebut diturunkan dari kepala pengantin perempuan ke bahunya sambil orang tua berkata demikian:
Au kaus ain ho kanaf ma bonif na ko ho fufum ho nakam hen saun neu ho benam ho hanu
Kemudian dengan "lapeo" yang baru diletakkan dalam oko mama, orang tua meletakkannya pada kepala pengantin perempuan sambil berkata demikian:
Au Saeba na ...... in kanaf ini bonif neu ho fufum ho nakam he nati antek ko mnak .....
Setelah ritual tersebut, nama belakang perempuan akan mengikuti nama belakang laki-laki yang akan bertambah menjadi dua. Misalnya perempuan berasal dari Klan Salukh dan suaminya berasal dari Klan Nope maka nama belakangnya menjadi Nope-Salukh.
Di beberapa sub suku, ritual tersebut sedikit berbeda. Oko mama yang berisi lapeo tersebut diturunkan dari kepala pengantin perempuan tetapi tidak meletakkannya pada bahu perempuan. Artinya bahwa perempuan benar-benar terlepas dari klannya. Misalnya perempuan berasal dari Klan Salukh dan suaminya berasal dari Klan Nope maka nama belakangnya menjadi Nope (Salukh dihilangkan).
Di Amanuban, marga perempuan tidak dicopot tetapi diletakkan dibawah marga laki-laki. Hal ini didasarkan pada status perempuan yang masih memiliki ikatan adat dengan Atoin Amaf (saudara laki-lakinya). Seperti ritual adat "Kusa Nakaf" yang harus dilakukan oleh saudara laki-lakinya.
Perlu diketahui, ritual ini atas dasar budaya patrilineal yang bukan hanya mewajibkan nama belakang anak mengikuti marga atau klan ayah tetapi istri juga diwajibkan untuk mengikuti marga atau klan suami.
Uniknya, ritual ini bersifat mengikat yang tidak memungkinkan terjadinya perceraian. Akan tetapi, jika suami pergi meninggalkan istrinya maka istri memiliki hak mutlak atau hak istimewa dalam menguasai harta benda (tanah, rumah, mamar dan sebagainya) suaminya itu. Bahkan, meskipun suaminya menikahi perempuan yang lain, suaminya tidak memiliki secuil hak untuk itu.
Dalam kasus apapun, perempuan tidak bisa kembali pada orangtuanya karena sudah masuk pada klan laki-laki. Jika perempuan ditinggal mati oleh suami, perempuan tidak berani kembali juga kepada orangtuanya. Ia akan terus bertahan hidup melewati suka duka bersama kerabat suaminya.