Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pro-Kontra "Keti", Tradisi Pengakuan Dosa Suku Dawan (Timor)

10 Maret 2020   22:43 Diperbarui: 1 April 2020   19:46 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontekstualisasi Tradisi Keti dalam Agama

Menganut Agama Kristen Protestan, Penulis tahu betul bagaimana kontekstualisasi Keti dalam Agama Kristen Protestan terutama dalam persekutuan doa. 

Biasanya, untuk mengetahui kesalahan atau tradisi yang belum diselesaikan, para hamba Tuhan yang dipercaya memiliki karunia untuk mendengar suara Tuhan berdoa untuk mengetahui penyebab utama masalah atau tantangan yang dihadapi oleh seseorang.

Suku Dawan yang menganut agama Kristen Protestan percaya bahwa Tuhan memberitahukan kesalahan atau penyebab masalah dalam kehidupan melalui orang-orang yang memiliki karunia mendengar suara Tuhan. Setelah itu, ada doa dan persembahan khusus serta tradisi jika penyebabnya adalah beberapa tradisi belum dilakukan.

Sedangkan untuk Agama Islam dan Katholik, penulis tidak tahu bagaimana dengan kontekstualisasinya tetapi beberapa kali saya bertanya pada mereka, tradisi Keti masih diberlakukan sebagai bentuk pengakuan dosa.

Pro-Kontra Tradisi Keti

Bagi kaum religius, tradisi Keti adalah unsur penting untuk menerapkan tradisi pengakuan dosa keagamaan seperti yang saya uraikan dalam kontekstualisasi agama Kristen. Akan tetapi, bagi orang kesehatan tradisi Keti menjadi penghambat akses kesehatan.

Mayoritas Suku Dawan yang tinggal di desa atau kampung, lebih menomorsatukan Keti daripada berobat ke puskesmas ketika sakit. Mereka percaya bahwa Keti adalah cara ampuh untuk seseorang mengalami kesembuhan dari sebuah penyakit.

Banyak orang termasuk penulis mengecam pola pikir tersebut karena terdapat banyak kejadian orang sakit meninggal tanpa adanya upaya pengobatan. Kesalahan atau dosa masa lalu dipercaya sebagai penyebab utama penyakit, padahal belum ada diagnosa dari dokter.

Meski demikian pola pikir ini masih ditemui hingga saat ini. Khusunya untuk tahun ini, saya sudah menemukan dua peristiwa kematian yang mengandalkan Keti bukan dokter.

Bagi penulis, Keti  tradisi pengakuan dosa yang sangat baik untuk diterapkan dalam konteks keagamaan maupun konteks sosial berbudaya (interaksi dengan orang lain) tetapi dalam konteks sakit penyakit, Keti harus dinomorduakan atau setidaknya dijalankan secara bersamaan dengan bantuan tenaga medis.

Salam!!!

Mauleum, 10 Maret 2020

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun