Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pro-Kontra "Keti", Tradisi Pengakuan Dosa Suku Dawan (Timor)

10 Maret 2020   22:43 Diperbarui: 1 April 2020   19:46 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Penyerahan Mahar (Oko) yang dilakukan sebagai bentuk Keti (Dokumen Pribadi)

Jauh sebelum Agama masuk, Keti sudah menjadi bagian dari tradisi pengakuan dosa Suku Dawan

Tradisi Pengakuan Dosa Dalam Beberapa Agama di Indonesia

Pengakuan dosa (confession) adalah pengakuan seseorang atas tindakan atau kelakuannya yang salah. Pada umumnya, pengakuan dosa dikenal dalam tradisi keagamaan yang berarti pengakuan atas perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama.

Bagi Agama Budha, pengakuan kesalahan merupakan sebuah kewajiban secara rutin kepada superior (dewa). Hal ini dilakukan atas dasar kumpulan peraturan monastik Buddhis, atau Sangha, pada naskah-naskah seperti Vinaya Pitaka.

Dalam ajaran Agama Katolik, pengakuan dosa merupakan salah satu dari tujuh sakramen dalam Gereja Katolik yang berarti pengaku memperoleh pengampunan dosa dari Allah setelah ada pengakuan dan penyesalan sekaligus ada pendamaian dengan Gereja yang telah mereka lukai karena dosa-dosa mereka.

Berbeda dengan Katholik,  kebanyakan denominasi Agama Kristen Protestan meyakini bahwa tidak perlu ada perantara selain Kristus dalam hubungan antara umat Kristen dengan Allah untuk dapat terbebas dari dosa-dosa. Oleh karena itu, dalam doa pribadi di hadapan Allah, mereka yakin bahwa hal sangat cukup untuk mendapatkan pengampunan dari Allah.

Sedangkan dalam Agama Islam, pengampunan dosa disebut sebagai Istighfar yang dilakukan dengan mengulang-ulang perkataan astaghfirullah yang dipandang sebagai salah satu bagian penting ibadah dalam Islam.

Tradisi Pengakuan Dosa Suku Dawan Timor

Dalam tradisi Suku Dawan di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), pengakuan dosa dikenal dengan istilah "Keti". Kata Keti merupakan kata kerja dalam Bahasa Dawan yang menyatakan suatu tindakan atau keberadaan dan memiliki makna yang cukup luas tergantung pada konteks pembicaraan.

Khususnya untuk dialek Amanuban, Keti berarti mensejajarkan, merapikan, meluruskan dan sebagainya. Intinya makna Keti menjurus pada kata membenarkan atau membetulkan sehingga penggunaan Keti dalam konteks religi berarti mengakui dosa dan memperbaiki kesalahan.

Contoh penggunaan kata Keti dalam bahasa sehari-hari seperti Naketin (pengucapannya menggunakan simulfiks na-n) yang berarti menjelaskan dua orang atau benda yang berdiri sejajar (berdampingan) dan Muketi (pengucapannya menggunakan prefiks mu yang membentuk kata kerja imperatif) yang berarti menyuruh orang untuk melakukan Keti serta Taketi (menggunakan prefiks ta yang membentuk kata kerja imperatif) yang berarti mengajak orang lain untuk melakukan Keti besama.

Beberapa kali penulis mendengar orang lain dan membaca beberapa tulisan yang menyebut Keti sebagai Naketi. Setelah ditelusuri, ternyata Keti diperkenalkan kepada khalayak luas sebagai Naketi, lagipula beberapa sub suku yang dialeknya lebih identik dengan penyebutan Naketi. 

Misalnya kata Leko dalam dialek Miomaffo identik dengan sebutan Naleok. Dalam dialek Amanuban, na adalah prefiks yang menerangkan orang lain melakukan Keti.

Suku Dawan percaya bahwa ada konsekuensi dari setiap tindakan, baik itu tindakan yang baik maupun tindakan yang buruk terhadap Pencipta, sesama manusia dan alam. Tindakan yang baik akan mendatangkan kebaikan tetapi tindakan yang buruk mendatangkan malapetaka seperti tantangan, sakit penyakit dan masalah atau kegagalan dalam hidup.

Saat tantangan dan masalah terus mengintai dan meneror kehidupan seseorang, refleksi terhadap kehidupan masa lalu perlu dilakukan untuk mengetahui dosa atau kesalahan yang pernah dilakukan termasuk dosa orang tua.

Setelah mengetahui kesalahan yang diduga sebagai penyebab masalah dalam kehidupan, maka secara pribadi, orang tersebut Naketi dengan mengakui kesalahan tersebut untuk bebas dari masalah yang sedang melilit kehidupannya.

Jika tidak ada dampak pada masalah yang dialami maka dipastikan masih banyak kesalahan yang harus diakui dalam proses Keti sehingga refleksi tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang tetapi dilakukan oleh semua orang yang masih memiliki ikatan keluarga atau hubungan darah.

Pada umumnya, pada tahap ini, Keti dipimpin oleh seorang tokoh adat atau sosok yang dipandang bisa memimpin proses Keti. Biasanya, pemimpin Keti juga berperan dalam menggali informasi terkait dosa-dosa masa lalu keluarga atau yang bersangkutan.

Sampai kapan semua kesalahan atau dosa masa lalu diakui sepenuhnya termasuk dosa-dosa orang tua atau nenek moyang yang telah meninggal. Misalnya salah satu tradisi wajib yang belum dilakukan oleh nenek moyang wajib diselesaikan setelah benar-benar diyakini belum dilaksanakan.

Pengalaman pribadi saya, ketika kakak saya sakit dan tidak berangsur sembuh kemudian meninggal dunia, semua keluarga percaya bahwa penyebab kematiannya adalah tradisi "Kusa Nakaf" kakek saya belum diselesaikan sehingga kami  segera menyelesaikannya untuk mencegah peristiwa serupa terjadi lagi.

Umumnya, Keti dilakukan bersama sehingga semua orang yang hadir pun mengakui kesalahan atau dosa masa lalu mereka, atau paling tidak memohon maaf jika pernah ia melakukan kesalahan yang fatal di masa lalu.

Keti bukan sekedar mengakui kesalahan masa lalu tapi sebagai bentuk pendamaian manusia dengan manusia atas perbuatannya yang saling menyakiti dan pendamaian manusia dengan Uis Pah dan Uis Neno karena perilaku manusia yang menyakiti hati Uis Pah dan Uis Neno.

Kontekstualisasi Tradisi Keti dalam Agama

Menganut Agama Kristen Protestan, Penulis tahu betul bagaimana kontekstualisasi Keti dalam Agama Kristen Protestan terutama dalam persekutuan doa. 

Biasanya, untuk mengetahui kesalahan atau tradisi yang belum diselesaikan, para hamba Tuhan yang dipercaya memiliki karunia untuk mendengar suara Tuhan berdoa untuk mengetahui penyebab utama masalah atau tantangan yang dihadapi oleh seseorang.

Suku Dawan yang menganut agama Kristen Protestan percaya bahwa Tuhan memberitahukan kesalahan atau penyebab masalah dalam kehidupan melalui orang-orang yang memiliki karunia mendengar suara Tuhan. Setelah itu, ada doa dan persembahan khusus serta tradisi jika penyebabnya adalah beberapa tradisi belum dilakukan.

Sedangkan untuk Agama Islam dan Katholik, penulis tidak tahu bagaimana dengan kontekstualisasinya tetapi beberapa kali saya bertanya pada mereka, tradisi Keti masih diberlakukan sebagai bentuk pengakuan dosa.

Pro-Kontra Tradisi Keti

Bagi kaum religius, tradisi Keti adalah unsur penting untuk menerapkan tradisi pengakuan dosa keagamaan seperti yang saya uraikan dalam kontekstualisasi agama Kristen. Akan tetapi, bagi orang kesehatan tradisi Keti menjadi penghambat akses kesehatan.

Mayoritas Suku Dawan yang tinggal di desa atau kampung, lebih menomorsatukan Keti daripada berobat ke puskesmas ketika sakit. Mereka percaya bahwa Keti adalah cara ampuh untuk seseorang mengalami kesembuhan dari sebuah penyakit.

Banyak orang termasuk penulis mengecam pola pikir tersebut karena terdapat banyak kejadian orang sakit meninggal tanpa adanya upaya pengobatan. Kesalahan atau dosa masa lalu dipercaya sebagai penyebab utama penyakit, padahal belum ada diagnosa dari dokter.

Meski demikian pola pikir ini masih ditemui hingga saat ini. Khusunya untuk tahun ini, saya sudah menemukan dua peristiwa kematian yang mengandalkan Keti bukan dokter.

Bagi penulis, Keti  tradisi pengakuan dosa yang sangat baik untuk diterapkan dalam konteks keagamaan maupun konteks sosial berbudaya (interaksi dengan orang lain) tetapi dalam konteks sakit penyakit, Keti harus dinomorduakan atau setidaknya dijalankan secara bersamaan dengan bantuan tenaga medis.

Salam!!!

Mauleum, 10 Maret 2020

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun