Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Air Dingin" untuk Fahri Hamzah Soal Revisi UU KPK

13 September 2019   22:25 Diperbarui: 13 September 2019   22:33 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata-kata Fahri Hamzah di ILC tentang revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ibarat api yang sedang menyala dan berkobar-kobar. Bolehkah saya menyiraminya dengan air dingin ini?

Korupsi adalah salah satu penjajah yang mengancam kehidupan sebuah negara. Membunuh secara perlahan tapi pasti. Dalam hitungan sekejap dapat membunuh seluruh rakyat yang merupakan syarat utama sebuah negara. Karena itu, wajar jika kehidupan bangsa terancam bahkan negara ini bisa bubar jika rakyat habis dibasmi oleh kemiskinan yang seharusnya dapat diatasi.

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan upaya memberantas tikus-tikus liar yang mengganggu kehidupan bangsa. Mengambil segala sesuatu yang seharusnya tidak diperoleh.

Hampir di seluruh dunia, setiap negara membentuk komisi atau badan khusus untuk memberantas korupsi termasuk Indonesia. Atas dasar kasus korupsi secara besar-besaran yang tidak dapat dibendung pada masa orde baru, negara membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Dalam UU tersebut, kedudukan KPK sebagai lembaga ad hoc independen yang berarti sebagai sebuah organisasi yang dibentuk untuk waktu empat tahun dalam rangka menjalankan atau melaksanakan program pemberantasan korupsi.

Dengan adanya KPK dan kedudukannya sebagai lembaga ad hoc independen merupakan harapan bangsa. Negara yang dulunya ditakutkan bubar atau terancam tidak mungkin terjadi lagi karena keberadaan dan kedudukan KPK yang sangat kuat untuk memberantas para koruptor.

Polemik Revisi UU KPK

Kini, Indonesia diperhadapkan dengan sebuah polemik terkait dengan komisi harapan bangsa. Kedudukannya sebagai lembaga ad hoc independen terancam. Secara tiba-tiba DPR  menggelar rapat paripurna pada Kamis 5 September 2019 untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Hal tersebut menuai protes keras dari mayoritas masyarakat Indonesia. Menurut sejumlah orang, poin-poin yang akan direvisi dalam Undang-Undang justru bakal melemahkan KPK. 

Seperti status pegawai KPK ke depan akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang harus tunduk pada Undang-Undang ASN. Kendati demikian, hal tersebut dianggap membatasi bahkan menghilangkan independensi KPK.

Selain itu, monitoring langsung dewan pengawas yang berhak memberi izin dan tidaknya terhadap penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh KPK. Artinya KPK dilarang bekerja jika tidak diberikan izin oleh dewan pengawas. Hal tersebut juga dianggap akan membunuh independensi KPK dalam memberantas korupsi.

Dilansir dari kompas.com, selain kedua poin yang disebutkan di atas, terdapat 3 poin yang diduga melemahkan kedudukan dan independensi KPK.

Dilansir dari HukumOnline.com, Dalam Pandangan 8 Guru Besar Soal Polemik RUU KPK, Salah satu pandangan dari, Guru Besar Hukum Universitas Bosowa '45 Makassar, Prof Marwan Mas. Menurutnya, lima poin yang dipandang melemahkan dalam RUU merupakan cara yang sangat sistematis untuk melumpuhkan KPK. 

"Jika itu lolos, wewenang KPK seperti melakukan "penyadapan" yang harus ada izin Dewan Pengawas KPK, maka KPK tidak akan punya taring lagi. Perlu dipahami, bahwa transaksi suap yang dilakukan di ruang-ruang gelap, hanya bisa dibongkar dengan menyadap telepon pelaku," kata Prof Marwan.

Selain itu, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk mengatakan bahwa revisi UU KPK seharusnya memperkuat KPK bukan melemahkan. Jika dalam revisi tersebut lebih banyak melemahkan, lebih baik tidak usah dilakukan.

"Faktanya  lebih banyak memperlemah KPK sebaiknya tidak usah dilakukan Revisi UU KPK," Prof Hamdi.

Mahasiswa pun melakukan demonstrasi penolakan terhadap revisi UU KPK. Akan tetapi, terdapat sejumlah massa yang melakukan aksi dukungan terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tanggapan Fahri Hamzah

Seperti biasa, segala sesuatu terkait dengan masalah sosial dan masalah hukum di Indonesia, ILC akan mengadakan talkshow untuk membahas tentang masalah-masalah tersebut.

Pro-kontra revisi UU KPK menggugah hati Karni Ilyas untuk mengadakan talkshow dengan tema KPK mau diperkuat atau diperlemah?

Fahri Hamzah, hadir sebagai salah satu narasumber dalam talkshow tersebut. Sebagai salah satu dari sekian banyak DPR yang sangat antusias untuk mewujudkan revisi UU KPK ini, ia mengatakan bahwa jika tugas KPK hanya untuk menangkap orang maka citra Indonesia di dunia akan rusak. Himbauan Jokowi untuk mendatangkan investor asing akan basi dan lalu begitu saja karena negara ini terdengar di telinga negara-negara asing sebagai negara maling.

Terlepas dari alasan tersebut di atas, tercatat pada 3 Oktober 2011, Fahri mengusulkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebuah rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan Polri, Kejaksaan Agung dan KPK sendiri. Alasannya adalah KPK gagal menyelesaikan misi pemberantasan korupsi dalam waktu 8 tahun.

Namun, menurut pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Fahri Hamzah merupakan cerminan kepanikan dari anggota DPR. Bahkan, ia tak tanggung-tanggung menyebut rencana pembubaran KPK adalah agenda tersembunyi DPR.

"Fahri itu blunder dengan mengeluarkan suatu pernyataan pembubaran KPK. Blunder karena mengonfirmasi spekulasi kecurigaan publik sebelumnya bahwa mereka-mereka yang ada di Senayan (DPR) punya agenda tersembunyi untuk membubarkan KPK. Jadi, ketika KPK mengarahkan sasaran tembaknya ke anggota-anggota Dewan, terjadi resistensi sangat kuat, terutama di Komisi III," ujar Burhanuddin di Jakarta, Rabu (5/10/2011).

Oleh karena itu, revisi UU KPK tidak beda jauh dengan ketiadaan KPK. Ya, jika revisi UU KPK berhasil maka kedudukan KPK dibawah eksekutif tidak memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan tugas yang seharusnya mereka kerjakan tanpa ada intervensi dan keputusan dari pihak ketiga.

Jika harus memilih antara revisi UU KPK dan pembubaran KPK, saya memilih membubarkan KPK karena cara tersebut adalah cara cantik untuk membunuh KPK.

Tanggapan atas solusi pemberantasan korupsi ala Fahri Hamzah

Fahri Hamzah menilai kinerja KPK selama ini hanya menangkap pelaku koruptor lalu menjebloskan ke penjara tetapi tidak ada unsur pemberantasan korupsi sehingga perlu dilakukan revisi UU KPK untuk membasmi total akar-akar korupsi.

"DPR tidak bisa dipercaya, karena ketuanya masuk Sukamiskin, Ketua DPD ditangkap 100 juta masuk Sukamiskin, Ketua MK di Sukamiskin, Ketua MA digeledah kantornya, polisi kena geledah, jaksa kena tangkap, hakim kena tangkap, gubernur, bupati semua kena tangkap, terus mana yang namanya pencegahan?" ungkap Fahri dengan nada emosi.

Databox: Lembaga Paling Korup
Databox: Lembaga Paling Korup

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR adalah hal yang sangat wajar. Data menunjukkan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup, bagaimana kita tidak ragu, jika lembaga yang paling banyak melakukan korupsi tampil sebagai solutif untuk membasmi korupsi?

Kecurigaanlah yang akan muncul dalam pikiran masyarakat bahwa ada maksud tersembunyi dari DPR untuk mengamankan posisi mereka yang selama ini terus digoyang oleh KPK.

Fahri Hamzah menyarankan agar kita belajar dari Korea Selatan yang membubarkan lembaga antikorupsi mereka. KICAC (Korea Independent Commission Against Corruption) berdiri tahun 2002 dibubarkan Lee Myung Bak pada tahun 2008 dengan alasan tidak mendukung pemerintah dan pengusaha.

Lalu Lee Myung Bak kembali membentuk Anti Corruption and Civil Rights Commision (ACRC) yang merupakan gabungan dari KICAC, Ombudsman, dan Komisi Banding Administratif. Artinya bahwa KICAC yang sebelumnya sebagai lembaga independen kini dibawah eksekutif.

Fahri Hamzah menilai hal ini adalah prestasi yang luar biasa karena menyatukan semua unsur lembaga hukum negara untuk memberantas korupsi.

Berbeda dengan Manager Riset Transparancy Internasional Indonesia Wawan Suyatmiko, ia menilai tindakan Presiden Korea Selatan sebagai upaya pelemahan agenda anti korupsi di Korea Selatan.

Akan tetapi, sulit memihak, siapa yang harus dipercaya? Fahri Hamzah atau Wawan Suyatmiko?

Indeks Persepsi Korupsi Korea Selatan
Indeks Persepsi Korupsi Korea Selatan

Dilansir dari Tradingeconomics.com, indeks korupsi di Korea Selatan setelah pembubaran KICAC menunjukkan angka yang stabil dan bertahan hingga tahun 2018 dengan indeks persepsi korupsi sebesar 57.

Disisi lain, jika belajar dari Singapura yang merupakan negara yang termasuk dalam 10 besar negara dengan indeks persepsi korupsi tertinggi di dunia, maka saya kurang setuju dengan pendapat Fahri Hamzah untuk belajar dari Korea Selatan.

Dibandingkan dengan Indonesia, Singapura memiliki payung hukum tentang pemberantasan korupsi yang lebih baik. 

Salah satu wewenang Biro Investigasi Praktik Korup (CPIB) adalah menentang dan menahan seseorang yang melakukan tindakan korupsi, tanpa perlu meminta surat perintah penangkapan. Inilah salah satu wewenang dari sekian wewenang CPIB yang diatur dalam undang-ndang pemberantasan korupsi.

Lalu, Indonesia akan merevisi UU KPK dengan salah satu agenda jika KPK melakukan penggeledahan dan sebagainya harus atas izin dewan pengawas, boro-boro kita bermimpi seperti Korea Selatan? Ataukah kita bermimpi seperti Fahri Hamzah bahwa tidak akan ada lagi korupsi di Indonesia?

Di bagian ini saya ingin katakan bahwa regulasi seperti Korea Selatan tidak serta merta merupakan faktor utama proses pemberantasan korupsi. 

Akan tetapi, ada faktor lain yang sangat berpengaruh. Kita tidak bisa menyamakan konteks Indonesia yang memiliki tantangan dan akar permasalahan yang berbeda dengan Korea Selatan.

Cara Korea Selatan yang patut ditiru adalah ACTI yang berperan sebagai lembaga pelatihan untuk masyarakat agar memiliki integritas yang lebih baik dan menanamkan karakter antikorupsi. 

Namun, saya pikir cara ini sudah dilakukan oleh Indonesia dengan adanya pendidikan Antikorupsi yang dimasukkan di kurikulum, yang perlu dikerjakan lebih baik lagi adalah efektivitas pendidikan Antikorupsi tersebut. 

Ataukah sudah efektif tetapi hasilnya tidak dapat dilihat saat ini karena kita terlambat menerapkannya. Kita butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk melihat negeri ini bebas dari korupsi.

Karena itu, usulan dan kritik Fahri Hamzah sejak 2011 hingga puncaknya pada saat ini seharusnya menjadi tanda tanya publik? Apa maksudnya? Apa salahnya kita merevisi UU KPK dengan memperkuat lagi kekuatan independensi KPK seperti Singapura bukan melemahkannya?

Bagi saya revisi UU KPK ini bisa saja merupakan strategi yang sudah direncanakan sedemikian rupa untuk mencapai maksud tersembunyi mereka. 

Ini sangat berbahaya, jika pada akhirnya UU KPK berhasil direvisi maka Firli Bahuril yang sekarang terpilih sebagai Ketua KPK akan menjadi manusia pajangan di KPK hingga 2023.

KPK akan mengalami lumpuh total dan kita tunggu saja negara ini berjalan mundur menuju orde baru.

Tulisan ini hanyalah sebuah opini receh.
Salam!!!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima; Enam; Tujuh;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun