Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Lampu Kuning" dari Ahok untuk Indonesia

23 Juli 2019   23:38 Diperbarui: 23 Juli 2019   23:56 2244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok saat terima piagam penghargaan Roosseno Award pada Senin (22/07/2019)-KOMPAS.com/VERRYANA NOVITA NINGRUM

Baca: Tanpa Jabatan, Ahok Raih Penghargaan Lagi

Dalam sambutannya ketika dinobatkan sebagai penerima Rooseno Awards IX pada tanggal 22 Juli 2019, Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok menyampaikan banyak hal terutama terkait dengan karir politiknya.

Ahok mengatakan bahwa karirnya di dunia politik sudah berakhir dikarenakan ia dicap oleh orang sebagai penista agama dan kebencian orang-orang atas keputusannya bercerai dengan istrinya kemudian menikah dengan ajudan istrinya.

Selain itu, ia pun menanggapi isu tentang dirinya masuk dalam skuat kabinet Jokowi-Ma'aruf bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi karena ia sudah cacat di Republik ini.

"Saya sudah selesai karier politik saya sesungguhnya, saya katakan, Orang mayoritas beragama sudah mencap saya penista. Masyarakat kelas menengah, terutama ibu-ibu, marah karena urusan perceraian saya dan pernikahan saya, Saya tidak mungkin jadi menteri. Saya kan sudah cacat di Republik ini," kata Ahok.

Pernyataan ini dinilai oleh Pengamat komunikasi politik CSIS, Arya Fernandes sebagai pernyataan yang sungguh-sungguh.

"Menurut saya memang Ahok merenungkan memang tidak mudah bagi dia untuk kembali ke politik yang normal dari atas yang mendera dia, Ahok berhasil itu," kata Arya kepada Kompas.com, Selasa (23/7/2019).

Oleh karena itu, Ahok meninggalkan pesan penting kepada masyarakat Indonesia bahwa untuk membuat Indonesia lebih cepat jaya, masyarakat Indonesia harus rela mematikan ego dan kepentingan SARA-nya.

"Jika setiap warga negara rela 'mematikan' egonya, kepentingan SARA-nya, maka saat itulah Indonesia akan menuju kejayaan," kata Ahok.

Bagi penulis ini adalah "Lampu Kuning" bagi kita semua. Ya, sejarah isu kepentingan SARA di Indonesia memiliki dampak yang berbahaya bahkan mematikan.

Masih ingatkah dengan peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 berbuntut panjang dan menyulut emosional warga? Bahkan penjarahan dan pembakaran pun tak bisa dihindarkan?

Kala itu, tahun yang mematikan. Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup parah. Akibatnya, terjadi kelumpuhan di seluruh persendian ekonomi dalam negeri yang memicu konflik dan kerusuhan hebat.

Kerusuhan di penghujung masa pemerintahan Soeharto ini berakibat pada konflik antar etnis pribumi dan etnis Tionghoa. Saat itu, dikabarkan banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah bahkan dibakar oleh massa pribumi. Ini mengerikan.

Lebih parahnya lagi, massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita Tionghoa.

Selain peristiwa di atas, konflik agama yang diklaim paling tragis pada tahun 1999 di Ambon. Konflik ini bermula dari pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease yang berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa.

Rupanya dalam konflik tersebut, agama dikait-kaitkan. Tak heran, konflik meluas dan menjadi kerusuhan yang sangat hebat antara umat Islam dan Kristen. Akibatnya serang-menyerang terus terjadi sehingga banyak orang meregang nyawa dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah. Peristiwa ini lebih banyak disebut sebagai perang saudara.

Jangankan etnis Pribumi dan Tionghoa atau agama seperti di Ambon. Tragedi Sampit merupakan salah satu konflik berdarah antar suku Dayak dan Madura yang paling membekas di Indonesia pada tahun 2001.

Berawal dari dugaan suku Dayak atas pembunuhan warga suku Dayak oleh orang Madura dan kasus pemerkosaan perempuan Dayak oleh suku Madura.

Suku Madura yang dianggap sebagai pendatang tidak menghargai tuan rumah. Keadaan ini dipanasi dengan isu suku Madura telah menguasai tanah Dayak. Akibatnya, pemenggalan kepala yang dilakukan oleh suku Dayak merupakan hal biasa. Dikabarkan, ratusan orang yang meninggal dunia.

Semua konflik yang dinarasikan di atas adalah dampak yang paling mengerikan dari isu SARA.
Ketegangan antara individu atau kelompok yang berkonflik, memicu tindak kekerasan, hilangnya rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat, jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda, mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan falam kehidupan berbangsa dan menimbulkan terpicunya terjadi konflik lain.

Bahkan, tidak dapat dipungkiri sebuah negara bisa hancur. Berkaca dari Yugoslavia, negara yang harus menyerah pada konflik SARA. Perbedaan antar suku antara lain Bosnia yang beragama Islam, Kroasia dan Slovenia yang beragama Katolik Roma menggunakan huruf latin, Serbia, Montenegro, dan Macedonia yang menggunakan huruf cyrilik merupakan pemeluk agama Kristen Ortodoks. Perbedaan ini memicu isu SARA khususnya Agama dan Etnis. Akibatnya, negara tersebut hanya tinggal kenangan.

Saat ini, Indonesia berada dalam situasi yang memprihatinkan. Ormas berkedok agama sering melontarkan ujian kebencian, tapi tidak tersentuh. Terutama di aksi-aksi demo mereka.

Ahok salah satu korban isu SARA. Jangan kasus penistaan agama, sebelum dilantik menjadi Gubernur, sudah ada gerakan penolakan Ahok karena beragama Kristen.

Terpilihnya Donald Trump yang diwarnai dengan kampanye penolakan muslim radikal di Amerika membawa dampak di Indonesia.

Kedua peristiwa di atas terjadi pada tahun 2016. Akibatnya berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia.

"Ketegasan posisi ini menjadi semakin mendesak guna melindungi perekonomian rakyat. PKB sebagai partai modern, pembela Pancasila menolak dengan tegas segala bentuk sentimen SARA, intoleransi, serta radikalisme agama, Dampak terhadap berita-berita seperti itu menyebabkan dunia usaha dan dunia keuangan was-was. Itu artinya urat nadi ekonomi nasional tengah dibidik untuk dihancurkan.
Akibatnya rupiah melemah cukup dalam, dibandingkan mata uang negara lain di kawasan. Tak hanya itu, sejak awal November 2016 dana investor asing hengkang dari pasar saham (Rp18 triliun) maupun obligasi (Rp24 triliun)," kata Ketua Umum DPP PKB Abdul Muhaimin Iskandar di Jakarta, Minggu (22/1/2017).

Selain itu, politik SARA atau yang sering dikenal sebagai politik identitas berpeluang merusak Demokrasi Indonesia bahkan lebih buruk dari politik uang.

Menurut survei yang dilakukan Lingkar Madani Indonesia atau LIMA, efek politik uang diperkirakan hanya sekitar 30%, yang berarti dari 100 orang yang mendapat uang maka mungkin sekitar 30 saja yang memilih sesuai dengan permintaan pemberi uang. Sedangkan politik SARA bisa berdampak melintasi batas-batas daerah tertentu, yang terlihat saat Pilkada DKI Jakarta, saat itu Ahok diterpa dengan isu etnis Cina dan beragama Kristen. Akibatnya, orang-orang di luar Jakarta pun juga sampai ikut 'terlibat'. Dampak tersebut dapat dilihat dari hasil pilpres 2019. Partai-partai yang tidak mendukung Ahok pada Pilkada DKI kalah telak di Mayoritas Agama Non-muslim. Kekalahan partai-partai tersebut di Mayoritas Non-muslim hanya merupakan bentuk dukungan kepada Pancasila yang merupakan ideologi negara.

Sekali lagi, pesan Ahok untuk mematikan ego dan meredam kepentingan isu SARA merupakan "Lampu Kuning" bagi masyarakat Indonesia.

Waspadalah terhadap mereka yang pemahamannya sempit yang menganggap pahamnya yang paling benar, mereka yang kurang pemahaman atas kebebasan dalam bergama dan beribadah, mereka yang mengedepankan paham radikalisme, mereka yang merebut lahan untuk lokasi tempat ibadah, mereka yang kurang kesadaran akan toleransi dan keharmonisan dan mereka yang berbeda dalam penafsiran terhadap isi kitab suci yang diyakini.

Mari kita membangun Indonesia atas dasar Pancasila. Tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan karena pada dasarnya kita bukan dua melainkan satu.

Satu Tanah Asli, Satu Negara, Bahasa kita satu. Indonesia.

Salam!!!
Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima; Enam; 
Tujuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun