Mohon tunggu...
Nenk Mawar
Nenk Mawar Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Saya hanyalah penulis receh yang tengah berperang dengan pena dan menggoreskan kata-kata

Hidup hanya sekali, buatlah hidupmu berwarna. Jangan engkau menyia-nyiakannya tetap semangat apapun keadaannya keep fighthing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki Hitam di Balik Jendela

13 Juni 2020   07:39 Diperbarui: 13 Juni 2020   07:43 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Rosidah binti Musa

Kakiku terus berjalan, aku tak bisa lari sebab tengah mendorong kereta bayi. Jantungku berdetak begitu cepat, lelaki itu masih mengikutiku. Tuhan, sungguh aku sangat takut. Apa yang dia mau dariku. Semenjak minggu lalu dia selalu memataiku, namun aku tak menghiraukannya. Pura-pura tidak tahu ada keberadaannya.


Tak sadar sampai juga di bawah apartemen bosku, aku bekerja di Singapura daerah Jurong West. Namun baru kali ini diikuti oleh orang Banglades. Semua orang tahu mereka suka sekali dengan orang Indonesia, entah karena apa. Aku pun tak begitu paham.

Aku masuk dalam kerumunan orang-orang di bus stop ada rasa legah tersendiri. Bagaimana tidak, sudah tak terlihat lelaki itu mengikutiku lagi.

Untunglah anak yanh aku jaga, dia tertidur dalam kereta bayi. Aku menjaga tiga anak. Yang di mana dua anak banyak aktifitas di luar rumah, jadi mau tak mau aku harus mengantarnya sambil membawa anak yang paling kecil.

Tiba-tiba aku tersentak melihat lelaki itu sudah berdiri di jembatan menuju apartemen bosku, matanya tajam menatapku. Aku masih ingat pesan dari temanku.

"Jangan sedikit pun kamu menatap balik, sebab dia akan mengira kamu suka dengannya ...." seperti itu pesannya.

Ada rasa takut dan geram, mungkin dia kira aku ini seperti mbak-mbak Indonesia lainnya yang mau diajak kencan. Aku tak semurah itu, sungguh membuatku muak sekali dengan tingkah orang Banglades ini.

"Hai sayang ...." katanya memanggilku.

Aku tak begitu menggubris panggilannya, terus berjalan meskipun sedikit takut. Namun nasib baik masih berpihak denganku, ada orang China yang sama-sama ingin naik lift. Hatiku sedikit tenang, di Singapura apartemen tak sama seperti di Hong kong. Meskipun apartemen untuk masyarakat menengah masih ada satpam penjaga untuk masuk ke dalam. Di Singapura tidak ada satpan, atau pun pintu masuk yang menggunakan kode. Jadi pencuri atau apa pun masih bisa berkeliaran di apartemen.

Beda pula jika yang tinggal di kondomonium, di sana ada satpam dan yang pasti pintu masuk menggunakan kode atau kartu otomatis. Inilah yang membuatku takut, namun tidak dengan bosku. Mungkin karena aku belum terbiasa di negera singa ini.

Aku pun segera masuk dalam rumah, anak yang kujaga terbangun dan meminta turun dari kereta bayi. Hampir setiap hari jendela rumah bosku tertutup rapat. Tak biasanya aku selalu membuka lebar-lebar, membiarkan matahari masuk dalam rumah.

Tapi tak sekarang, kututup rapat-rapat. Sempat adik bosku datang dan dia bertanya mengapa aku tak membuka hordeng atau jendela. Aku hanya menjawab, lupa untuk membuka.

*****
Hari ini aku pun pergi kesuper market dan sekarang berangkat sendiri. Sebab anak yang kujaga ada kakaknya di rumah. Jadi aku bisa pergi kepasar sendiri.

Jalanan depan Jurong West Stadio begitu sepi tak banyak orang berlalu-lalang, aku pun berjalan santai. Karena tak khawatir tentang Nadia anak paling kecil yang aku jaga. Namun, kenyataannya tak seindah yang aku pikirkan. Dia bersama teman-temannya berdiri santai.

Bagaimana bisa mereka pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu pasar? Apakah tak ada kerjaan selain cari mangsa untuk mencari kekasih. Sungguh kesal, mereka merusak suasanaku hari ini.

Dari jauh pun aku berpikir untuk mencari setrategi agar masuk dalam pasar tanpa diketahui mereka, kulihat ada seorang nenek membawa keranjang sayuran yang di dorong. Aku pun mengikutinya dan pura-pura bertanya.

"Do you want to go market, grandma?" tanyaku basa-basi. Mataku masih mengawasi dia.

"Yeah, do you?"

"Yeah me too, than we go together ...." kataku.

Akhirnya aku pun selamat dari intaian mereka, dan berpisah dengan nenek itu. Aku ke kiri, nenek itu ke kanan. Baru saja melangkah, memilih sayuran. Kulihat mereka pun beranjak dan masuk dalam pasar. Hatiku tak keruan, keringat panas dingin membasahi tubuhku.

Lelaki itu sudah mengincarku semenjak, aku dan anakku bermain di taman. Ketika itu dia membantu mengambilkan bola, karena kupikir berterima kasih itu sifat manusia dan kesalahanku itu tersenyum padanya.

Kukira itu bukan awal dari malah petaka seperti ini, namun ternyata lelaki itu menyikapi berbeda ia menyalahkan arti dari senyumanku. Aku merasa menyesali senyumanku sekarang, seharusnya aku memberi tahu padanya agar berhenti untuk mengawasiku.

Aku segera membeli sayur dan segera pergi dari pasar, namun nasib buruk tak bisa terelakkan. Dia mengetahuiku dan aku begitu kaget ketika ia memandangku dan tersenyum mengetipkan satu mata.

Sungguh sangat geli sekali, aku lebih suka orang lokal Indonesia. Mereka pikir aku tertarik dengan mereka, seperti mbak-mbak lainnya. Pikiran mereka terlalu cabul menurutku.

Aku berlari dan terus berlari, tak peduli orang melihatku. Yang terpenting aku sudah jauh darinya. Sesampai di halte bus hatiku sedikit legah, kerena ada orang yang tengah menunggu bus. Aku tak perlu naik, karena rumah apartemen bosku samping halte bus. Cuma harus memutar sedikit, baru ada jembatan menjuh apartemen.

Mataku menyapu sekelilingnya, tak ada tanda-tanda orang yang mengikutiku. Lift pun terbuka aku pun segera masuk dan secepatnya menekan tutup. Kini hanya ada aku sendiri di dalam lift, napasku masih sedikit tersengal.

"Alhamdulillah hari ini selamat lagi ...." lirihku.

*****

Pikiranku masih tak karuan, bagaimana tiap hari seperti ini. Aku bisa stress dibuatnya. Mengapa lelaki itu terus menerus mengikutiku, apakah aku harus melawannya? Tapi bagaimana? Sungguh kacau balau.

Aku sudah terbiasa bangun pagi pukul lima waktu Singapura, mataku masih belum begitu sadar. Aku tak kejut bukan main, jendela samping keranjangku terbuka dan terlihat lelaki wajahnya hitam tak begitu jelas. Mungkin karena aku baru bangun tidur. Lisanku tak bisa berteriak, berkata pun seakan tak bersuara.

Melihatku terkejut lelaki itu langsung pergi dan aku pun segera bangkit dari tempat tidurku. Aku masih ketakutan, bosku sudah bangun dan bersiap-siap berangkat kerja. Dan bekal nasi dan sarapan sudah tertata rapi di meja.

Aku tak mungkin bicara dengan bosku sekarang, karena mereka akan pergi kerja. Namun, aku tak bisa menunggu ingin segera memberitahunya.

"Ibu saye nak cakap something ...."

"Cakaplah, ibu dengar ...." katanya sambil merapikan hijab. Bosku orang Malayu. Mereka muslim, itulah membuatku betah di negara singa ini.

"Semalam, ade orang buka tingkap bilik saye bu!"

"Macam mana bisa buka tingkap bilik Kak Ros? Awak tak kunci ke?"

"Saye lupe, bu. Tapi kan sepertinye dia lelakilah."

"Ok bila macam tuh, ibu pulang keje. Kita kat kantor polis ok, dah tak payah takutlah ...."

Aku pun merasa legah setelah memberi tahu bosku, dan ternyata benar. Nyonyaku menepati janjinya dan dia pun membawa aku ke kantor polisi untuk melaporkan kejadia waktu subuh itu. Aku pun menjelaskan semuanya, sampai aku diikuti orang Banglades dan ada seorang membuka jendela kamarku.

Akhirnya di tempat bawah rumahku selalu ada polisi patrol, namun sampai sekarang. Aku sudah bekerja di Hong kong, orang itu masih belum diketahui siapa. Apakah hantu atau lelaki itu yang selalu mengikutiku. Entahlah hanya Allah saja yang tahu siapa dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun