Kami yang masih kecil saat itu, sangat bangga berwisata di Indonesia. Sambil berjalan kaki, kami menyanyikan lagu serumpun padi atau rayuan kelapa, yang menggambarkan keindahan yang kami lihat saat itu.
Para petani membajak sawah, masih menggunakan tenaga kerbau, sambil menyanyikan kawih sunda yang menawan hati.
Apabila mendengar nyanyian petani, kami akan menghentikan perjalanan. Kami duduk-duduk di pinggiran rel, menikmati pemandangan yang sungguh langka.
Rasa penat yang kami rasa, seketika hilang, berganti ketenangan dan rasa fresh di sekujur tubuh kami.
Bila rasa penat hilang, kami pun melanjutkan perjalanan, sambil mengagumi pemandangan sawah yang terhampar luas. Gemericik air menambah kesyahduan suasana.
Setelah melewati rel, kami memasuki jalan setapak di antara sawah, yang dikenal dengan nama galengan.
Kami harus hati-hati saat melewati galengan, kalau-kalau galengannya masih basah, bisa-bisa kaki kami amblas. Hehehe
Beberapa galengan kami lalui, hingga akhirnya, sampailah di kampung Kandanggajah, Dewasari, tempat Uyutku tinggal.
Suara tonggeret yang khas menyambut kami saat kami tiba. Suasana sangat sepi, dilingkup rerimbunan bambu di kanan kiri jalan setapak.
Kami suka mendengarkan suara tonggeret, yang semisal irama alam yang menenangkan.
Di kampung ini, hanya ada empat rumah, yaitu rumah Uyut, rumah Aki Suharmi, rumah Nenek Diyem, dan rumah Kang Holis.