Senangnya kalau libur panjang bulan Ramadhan!
Kami berempat suka berlibur di rumah Nenek di Bandung, di Pangandaran, atau terkadang di rumah Uyut di Ciamis.
Jika ke Bandung, kami biasa dititipkan ke mobil elf yang lewat, dan Ibu tinggal berpesan turunkan di Kiaracondong, depan pabrik benang. Maka, sopir akan menurunkan kami di sana.
Dari Kiaracondong, kami berjalan kaki ke rumah nenek. Datang tanpa berkabar dulu, tahu-tahu kami sudah ada di depan rumah.
Tentu saja nenek yang terkejut akan menyambut kami dengan bahagia, karena Ibuku adalah anak tunggal.
Saat di sana, kami suka sekali menunggu kakek pulang.
Kakekku pensiunan tentara, dan pekerjaan sampingannya adalah sebagai juru parkir, yang tak begitu jauh dari rumah.
Tetangga sekitar suka memanggil nenek, yang kami panggil Emih, dengan sebutan Ibu Sersan.
Nah, biasanya Kakek pulang menjelang magrib.
Begitu datang, kakek akan menumpahkan isi sakunya yang penuh dengan uang recehan, lima rupiah hingga dua puluh lima rupiah.
Kami berebutan menghitung uangnya, dan setiap hari kami diberi bonus masing-masing 25 rupiah. Kalau mau memijit Kakek, dapet lagi bonus 10 hingga 25 rupiah.
Wah, senangnya! Uang itu kami kumpulkan untuk bekal lebaran.
Di depan rumah Emih yang cukup luas, ada pohon jambu yang lebat. Pernah suatu hari, siang-siang selepas duhur, aku dan A Bari naik ke atas pohon.
Kami duduk bertengger di sana, sambil menggoyang-goyangkan dahan. Rasanya sejuk, ditiup angin sepoi-sepoi.
Sambil duduk di dahan, biasanya aku menyanyi bermacam-macam lagu. Serasa jadi artis yang lagi naik panggung. Hehehe
Saat di atas pohon jambu itulah, godaan datang. Mula-mula A Bari dan aku memetik jambu mateng dengan maksud untuk berbuka puasa.
Tetapi, lama-lama tergoda untuk memakannya.
Dari atas pohon, A Bari merayu Emih.
"Mih, boleh batal, gak?"
Emih menggelengkan kepala.
"Jangan. Sebentar lagi magrib!"
"Aku boleh, ya, Mih?" aku turut merajuk.
Emih terdiam. Ah, mungkin Emih kasian melihatku!
Kesempatan itu kugunakan untuk merayunya lagi.
"Boleh, ya, Mih?"
Sesaat Emih menatapku, akhirnya,
"Ya, boleh!" ujarnya pelan.
"Asyiiik!"
Aku langsung melahap buah jambu yang ranum itu. Hap, hap, enak sekali!
Melihatku makan, A Bari merasa mendapat angin.
Sekali lagi dia merayu Emih.
"Mih, aa juga, ya! Mau batal puasa kayak Ana!"
"Liat, Mih...aaaa!" A Bari membuka mulutnya.
Emih hanya bisa tersenyum kecut.
Sambil berjingkat masuk rumah, Emih menjawab,
"Iya, boleh! Tapi, sekali saja!"
"Horeee!"
A Bari langsung memasukkan jambu ke mulutnya. Dia batal puasa sepertiku! Padahal dia sudah kelas lima SD, loh!
Hanya Teh Dini yang tak pernah batal puasa. Kalau Ati masih kecil, jadi dia belum bisa puasa.
Sampai magrib tiba, kami tak makan apa-apa lagi. Rasanya malu kalau harus makan nasi sebelum waktunya.
Ketika Ibu datang ke Bandung beberapa hari kemudian, aku dan A Bari kena marah, karena batal puasa.
"A Bari dan Ana, gak akan dibelikan baju lebaran!" kata Ibu dengan tegas.
Aku dan A Bari tertunduk bagai pesakitan. Sedih banget mendengar kata-kata Ibu.
Gimana, kalau begini?
Masak, gak pake baju lebaran?
Duh, aku menyesal!
Gara-gara jambu, sih!
Hiks hiks
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H