Selepas upacara bendera, seorang siswa kelas lima menangis tersedu-sedu. Ketika ditanya, ternyata telinganya dijentik oleh siswa kelas enam. Duh, ada-ada aja!
Saat di kelas, kuinterogasi anak laki-laki satu persatu.
"Kamu menjentik telinga Rendi?"
Mereka menggeleng.
"Enggak, Bu!"
Mereka menjawab dengan sangat meyakinkan.
"Kalau tidak ada yang mengaku, ayo semua anak laki-laki berdiri, dan masuk ke kelas lima!" perintahku.
Kugiring mereka masuk ke kelas lima. Aku meminta izin kepada Bu Ayu, guru kelas lima untuk mengklarifikasi.
"Silakan, Bu!" ujarnya ramah.
Kulihat Rendi masih menangis. Wajahnya menelungkup di atas meja.
"Rendi, ini semua anak laki-laki kelas enam. Barangkali Rendi bisa menunjukkan, siapa yang telah menjentik telinga Rendi!" ujarku.
Rendi bergeming.
Kutunggu beberapa saat, dia tetap tak mau mengangkat wajahnya, meski dibujuk oleh gurunya sekali pun.
"Ya, udah, kalau Rendi gak mau menunjukkan sekarang, barangkali nanti ya! Rendi bilang saja sama Ibu Ayu."
Kuajak anak-anak kembali ke kelas.
Sebelum melanjutkan pelajaran, mereka kunasihati dulu untuk tidak melakukan perundungan.
"Hati-hati, ya, Nak. Kita sudah membuat kesepakatan serta mengutuk keras tindakan perundungan. Baik secara verbal, mau pun dengan kekerasan fisik. Menjentik telinga, termasuk perundungan fisik, dan hal itu tidak dibenarkan."
Kutatap anak-anak satu persatu.
"Ibu tak ingin kejadian ini terulang kembali. Mengerti?"
"Mengerti, Bu!"
Saat bel istirahat, aku bertemu dengan Bu Ayu di ruang guru.
"Bu, kata Rendi, yang menjentik telinga itu Tino!" ujarnya sambil tertawa.
"Rendi memang sangat mudah menangis, sedikit-sedikit, nangis!" jelasnya.
"Oh, begitu, ya?"
"Iya, Bu, sering sekali dia menangis di kelas, karena hal sepele!"
Aku mengangguk-angguk.
"Mungkin dia anak manja?" tanyaku, sambil mesem.
"Iya, Bu!" jawab Bu Ayu.
"Sebentar, saya mau nanya dulu Tino, mumpung istirahat!"
Bu Ayu mengangguk.
"Silakan, Bu!"
Aku menuju lapangan sekolah. Beberapa siswa sedang main sepakbola, ada juga yang main kejar-kejaran. Kulihat Tino duduk bersama teman-temannya di bangku taman. Dia sedang asyik menonton sepakbola.
Tanpa basa-basi, langsung saja kutanya dia.
"Hai, Tino, bagaimana caramu menjentik telinga Rendi? Dengan tangan menelungkup atau terlentang?"
Aku menelungkupkan telapak tangan sambil menjetikkan ibu jari dan jari tengah, dan menelentangkannya.
Tak kusangka, Tino menjawab dengan rasa percaya diri.
"Begini, Bu!"
Spontan, ia menelentangkan telapak tangan, dan menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya dengan keras.
Oalah, dasar bocah! Dia keceplosan! Hahaha
Tino langsung mengaku, padahal, tadi pagi dia sama sekali tak mau mengakuinya.
Melihat kepolosan Tino, rasanya ingin tertawa, tetapi kutahan.
"Wah, pasti sakit, ya, kalau dijentik seperti itu?" tanyaku.
"Iya, Bu!"
"Kenapa menjentik telinga Rendi?"
"Abis dia ngobrol saat upacara!"
"Bagus, gak, menjentik telinganya?"
Tino menggeleng.
"Nggak, Bu," lirih jawabnya.
"Nah, kalau merasa bahwa perbuatanmu salah, jangan diulangi lagi, ya?"
"Iya, Bu!" Tino mengangguk dengan mantap.
"Nanti kau temui Rendi, dan minta maaf padanya!"
"Iya, Bu!"
Selepas istirahat, Tino menemui Rendi di kelasnya.
Disaksikan oleh guru dan semua siswa kelas lima, dia meminta maaf kepada Rendi, yang disambut Rendi dengan senyum merekah. Mereka bersalaman sambil tersipu malu.
Semoga Tino menjadi anak baik, dan Rendi tak cengeng lagi.
Aamiin
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI