Lha, kok, persis, ya?
Kalau aku kesal pada Pipit, adikku satu-satunya, aku selalu mencubitnya, Kucubit adikku dengan keras, kemudian berlalu dan kabur secepat kilat.
Ibuku akan terkaget-kaget, karena adikku tiba-tiba menangis sendirian. Dan beliau kemudian tahu, adikku menangis karenaku!
"Dasar pendekar samber nyawa!" Ibu mengomeliku dengan tokoh silat yang masyhur saat itu.
Pendekar yang bisa menghabisi lawannya, kemudian menghilang secepat kilat. Ibu dan ayahku adalah pasangan yang sangat gemar membaca, dan menurun kepada anak-anaknya.
Ada yang tahu, gak, ya, zaman itu? Hehe
Aku merasa geli, dan tertawa sendiri. Kutinggalkan kedua cucuku yang kembali sudah anteng menonton HP berdua.
Duh, duh, ternyata, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, ya?
Cici mewarisiku, secepat kilta berpindah tempat, setelah mencubit Dede. Seperti "Pendekar Samber Nyawa"!
Hahahaha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H