Aku dan A Bari menggotong meja kayu ke halaman rumah Ceu Marni, tetangga depan rumah, untuk tempat Ibu berjualan makanan. Teh Dini dan Ati, mengangkut sayuran matang, sayuran mentah, bumbu pecel, dan bahan untuk pisang goreng.Ibu mengangkut kompor minyak tanah, dan wajan, serta menata barang-barang dengan rapi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Sebenarnya terlalu sore untuk berjualan, karena tadi Ibu ikut pengajian dulu. Mudah-mudahan dagangan Ibu laris. Aamiin.
Kami berempat kembali ke rumah, dan meninggalkan Ibu sendirian. Tugas kami selanjutnya adalah belajar, dan hanya sesekali membantu Ibu di warung jika diperlukan. Dan kalau belum tidur, kami membantu angkut-angkut lagi semua barang, jika Ibu sudah selesai berjualan. Dan tentu saja, menikmati makanan yang tidak habis terjual. Hehe
"Jangan lupa ke masjid, ya Bari! Ajak adik-adikmu!" pesan Ibu.
"Iya, Bu!" jawab A Bari.
Dia kemudian asyik bermain layangan bersama teman-temannya di pinggir rel kereta, di dekat warung Ibu.
Azan magrib berkumandang, kami berempat bergegas ke masjid. Sempat kulihat warung Ibu sepi. Kami baru pulang dari masjid, selepas mengaji dan salat Isya'.
"Teh, ngantuk!" Ati menguap lebar. Matanya tampak memerah.
"Gosok gigi dan cuci kaki dulu, yuk!" Teh Dini gesit mengajak Ati ke kamar mandi.
Sejak ayah meninggal, dialah yang paling bisa diandalkan di rumah, selagi Ibu berjualan. Meski masih kelas lima SD, Teh Dini sudah bisa mengerjakan pekerjaan di rumah dengan tertib dan rapi. Mungkin, karena didikan Ibu, Teh Dini cepat sekali bersikap dewasa. Dia bagaikan ibu yang baik bagi kami.
Teh Dini menemani Ati tidur, aku pun segera menyusul. Mataku sukar terpejam, masih terbayang, warung Ibu. Kasian sekali...